bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Jumat, 19 Desember 2014

Perjalanan ke Tanah Para Rato



Selasa, 11 Desember 2014 tepat pukul 10.30 wita, pesawat Trans Nusa jenis ATR mulai bergerak meninggalkan bandar udara El Tari di Kupang menuju Bandar udara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Penerbangan ke Tambolaka dengan menyinggahi Bandar Udara Aboerusman di Ende. Lama penerbangan menuju Ende ditempuh selama 45 menit, dengan lama transit di Ende 20 menit, sedangkan lama penerbangan dari Ende ke Tambolaka ditempuh selama 45 menit.
Tepat pukul 12.15 wita pesawat Trans Nusa jenis ATR mendarat di Bandar Udara Tambolaka di Sumba Barat Daya, dan perjalanan ke Tanah para Rato pung di mulai.
Dari Bandara Tambolaka ke Waikabubak yang merupakan ibu kota Kabupaten Sumba Barat saya menumpang mobil travel dengan tarif Rp. 100.000,- per orang dengan waktu tempuh 45 Menit. Selama perjalanan ke Waikabubak, saya menikmati pemandangan yang indah, di sepanjang jalan dipenuhi dengan dengan pohon-pohon yang besar nan hijau dan diselilingi dengan hamparan sawah yang terbentang luas bak permadani hijau di sisi kiri dan kanan jalan, tidak ketinggalan kuburan (makam) megalitik para umbu yang terbuat dari batu putih hasil pahatan tangan-tangan para hamba. Setibanya di Waikabubak saya menginap di Hotel Pelita  di Jl. Ahmad Yani Nomor 2 Waikabubak. Hotel Pelita tempat saya menginap kini sangat nyaman dan aman bila dibanding dengan kedaan hotel ini 16 tahun yang lalu. Tarif kamar hotel pun sangat terjangkau untuk semua kalangan dengan fasilitas kamar berupa Fan, kamar mandi dalam dan lemari tempat menyimpan barang bawaan, pihak hotel juga menyiapkan makanan yang dapat dipesan kapan saja jika anda malas untuk makan di luar hotel.
Keesokkan hari saya mengunjungi kota Waihibur yang merupakan ibu kota kabupaten Sumba Tengah yang merupakan pemekaran dari kabupaten Sumba Barat. Kota Waikabubak masih merupakan kota tidur, belum terlihat banyak perkembangan dalam 10 tahun ini. Bila dibandingkan dengan Waikabubak, maka Waihibur mengalami perkembangan yang sangat pesat walaupun baru beberapa tahun pemekaran.
Perjalanan ke Waihibur, saya mengendarai sepeda motor dengan cara menyewa dan dipatok tarif Rp. 100.000,- per hari. Perjalanan dari Waikabubak ke Waihubur berjarak ± 20 km saya tempuh dengan waktu 30 menit, mungkin terasa agak lama karena saya mengendarainya dengan santai agar dapat menikmati keindahan kabupaten Sumba Tengah. Ketika saya memasuki kecamatan Katikuloku hingga Waihibur terlihat infrastruktur jalan yang sudah baik dengan bangunan rumah yang tertata rapi. Kawasan perkantoran dibangun pada satu kawasan sehingga memudahkan dalam urusan pelayanan public.
Saya menyempatkan diri mengunjungi kampung Gallu Bakul desa Malinjak, tempat saya melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) tahun 1990, sungguh luar biasa, jalan yang dulu kami lalui hanyalah jalan pengerasan sehingga bila musim hujan, maka amatlah sulit untuk dilalui, namun pada saat ini jalan tersebut sudah dipoles dengan butas/lapen sehingga membuat desa tersebut menjadi mudah dijangkau. Ketika itu desa malinjak di pimpin oleh Umbu Yaka.
Di desa Malinjak kecamatan Katikutana Selatan tepatnya di kampung Gallu Bakul yang letaknya ± 2 km dari ibu kota Waibakul terdapat Megalitik Gallu Bakul sebuah batu kubur yang spektakuler didirikan pada tahun 1983 sebagai tempat persemayam Umbu Sawola dan keluarganya. Kubur ini dipercaya sebagai kubur batu terberat di Pulau Sumba dengan berat ± 80 ton.
Bila anda berkunjung/melihat Megalitik Gallu Bakul, maka anda akan diberi buku tamu untuk diisi dan jangan lupa ada memberi sedikit sumbangan tanpa pakokan jumlah uang untuk membantu pemeliharaan megalitik tersebut.
Kuburan megalitik merupakan sebuah batu berukuran raksasa bisa ditemukan hampir dimana saja dan pada umumnya terdapat ukiran atau relief-relief indah yang menggambarkan manusia,kuda,kerbau,ayam,anjing,buaya,tanduk kerbau,juga miniatur rumah adat dan rupa-rupa perhiasan. Ukuran sebuah batu kubur bisa berceritra tentang banyak hal seperti status kebangsawanan dan kekayaan pemiliknya karena tidak semua mampu mendirikan batu kubur besar sebab pengerjaannya membutuhkan waktu, biaya dan tenaga untuk, menarik batu sampai tiba di kampung.
Tepat jam 13.30 wita saya kembali ke Waikabubak, perjalanan pulang ke waikabubak lebih terasa suasana alamnya karena sepanjang jalan ditemani oleh rintik-rintik hujan di bulan Desember sehingga menambah indahnya suasana Sumba Tengah dan mengingatkan kembali kenangan 24 tahun yang lalu.
Kamis, 13 Desember 2014 Jam 14.30 mesin pesawat Trans Nusa jenis ATR mulai bergerak pelan-pelan meninggalkan Bandar udara Tambolaka menuju Kupang dan perjalanan ke tanah para Rato pun diakhiri.



©johnberek99.blogspot.com
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar