bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Selasa, 20 September 2016

DETEKSI KEBUNTINGAN PADA SAPI MENGGUNAKAN ASAM SULFAT DAN AIR ACCU ZUUR



Deteksi kebuntingan merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan setelah ternak dikawinkan. Secara umum, deteksi kebuntingan dini diperlukan dalam hal mengindentifikasi ternak yang tidak bunting segera setelah perkawinan atau Inseminasi Buatan (IB), sehingga waktu produksi yang hilang karena infertilitas dapat ditekan dengan  penanganan yang tepat seperti ternak harus dijual atau di-culling (dipotong). Hal ini bertujuan untuk menekan biaya pada breeding program dan membantu manajemen ternak secara ekonomis.
Banyak metode/cara yang dapat digunakan untuk deteksi kebuntingan tergantung spesies, umur kebuntingan, biaya, ketepatan dan kecepatan diagnosa.
Tujuan dari setiap metode yang digunakan dalam pemeriksaan kebuntingan adalah untuk menentukan status kebuntingan dengan ketepatan 100 %, dan tidak mempunyai positif palsu atau negatif palsu, menentukan kebuntingan sedini mungkin, menentukan usia kebuntingan, menentukan kemampuan keberlangsungan kebuntingan dan menentukan jenis kelamin fetus dan bisa berhasil dalam waktu singkat.
Salah satu cara paling akurat dan paling aman untuk mengetahui kebuntingan serta umur kebuntingan pada sapi adalah dengan metode palpasi rectal. Namun cara ini sulit dilakukan terutama oleh para pemula, untuk itu perlu dubutuhkan ketrampilan dan latihan secara terus-menerus dan dibimbing oleh instruktur yang telah berpengalaman.
Jika menggunakan palpasi rectal paling cepat 2 - 3 bulan setelah IB / dikawinkan baru sapi bisa dicek kebuntingannya. Jika palpasi rectal dilakukan kurang dari dua bulan setelah ternak sapi di IB akan sulit mendeteksi kebuntingannya. Lalu adakah metode lain yang mudah diterapkan, murah biayanya dan tanpa perlu keahlian khusus seperti palpasi rectal?

Metode deteksi kebuntingan secara kimiawi dengan memanfaatkan asam sulfat (H2SO4) dan Air Accu Zuur.
Penggunaan asam sulfat untuk deteksi kebuntingan menjadi alternatif  yang murah dan mudah dilakukan, tanpa harus memiliki keterampilan khusus. Semua orang sepertinya bisa melakukan test kebuntingan sapi dengan metode ini, hanya perlu hati-hati saat menggunakan asam sulfat pekat karena sifatnya yang keras dan bisa melukai kulit.
Menurut Partodiharjo (1992), asam sulfat dapat digunakan untuk mendeteksi kebuntingan. Hal senada dinyatakan oleh Satriyo (2001) bahwa metode deteksi ini telah diterapkan untuk
mendeteksi kebuntingan ternak sapi, karena di dalam urine sapi yang sedang bunting mengandung hormon estrogen yang dihasilkan oleh plasenta.
Partodihardjo (1987), menyatakan larutan 2 ml urine ditambah 10 ml aquadest kemudian dibakar dengan 15 ml asam sulfat pekat akan menimbulkan gas fluorescence di permukaan cairan. Gas tersebut timbul karena adanya hormon esterogen di dalam urine.
Hormon esterogen diproduksi jika seekor ternak telah mengalami perkawinan dan berada
pada proses kebuntingan. Ditambah oleh Illawati (2009), penggunaan volume asam sulfat
pekat 0.5 ml yang lebih efektif untuk deteksi kebuntingan. Penggunaan asam sulfat pekat
0.5 ml menghasilkan warna yang berubah dari kuning muda menjadi keunguan ini menunjukan kebuntingan yang jelas. Melanjutkan penelitian ini untuk mendapatkan volume
asam sulfat pekat (H2SO4) yang lebih efisien dan lebih ekonomis dari segi harga, uji kebuntingan dilakukan dengan memperkecil volume penggunaaan asam sulfat.
Selain itu oleh Illiwati (2012) menyatakan Ketepatan atau akurasi penggunaan Asam Sulfat (H2SO4) pekat dibandingkan dengan palpasi per rektal adalah 97%.

Cara menggunakan asam sulfat (H2SO4) dan Air Accu Zuur sebagai berikut :

  • Siapkan alat : gelas minum kaca bening (tanpa gambar), kertas putih sebagai alas gelas dan batang pengaduk.
  • Bahan yang digunakan : urine sapi/kambing/domba yang baru sebanyak 1 – 2 cc, air aquadest steril/air mineral sebanyak 10 cc dan asam sulfat (H2SO4)/air accu zuur sebanyak 1cc.
  • Letakkan gelas kaca bening diatas sehelai kertas putih.
  • Tampunglah urine segar saat kencing langsung dalam wadah yang bersih. Merangsang kencing  ternak sapi : siram punggung ternak dengan air dan tunggu beberapa saat. Merangsang kencing kambing/domba : bekep mulut ternak sampai meronta dan tunggu beberapa saat.
  • Sebaiknya penampungan urine dilakukan pada pagi hari, kerena urine lebih pekat.
  • Ambil 2 cc urine tersebut dan masukkan dalm gelas kaca bening.
  • Tambahkan sebanyak 10 cc air aquadest steril/air mineral, kemudian aduk merata.
  • Tambahkan cairan air Asam Sulfat/H2SO4/air accu zuur sebanyak 1 cc.
  • Aduk sampai rata dan kemudian tunggu 5- 10 menit. Jika urine berubah warna dari kuning muda menjadi biru keungunan berarti ternak tersebut bunting, sebaliknya bila tidak terjadi perubahan warna maka ternak tersebut tidak bunting. Semakin pekat larutan H2SO4 yang digunakan maka perubahan warna yang terjadi akan semakin cepat. 


Metode Punyakoti
Istiana (2010) melaporkan bahwa sebuah veterinary college di Bangalore India telah melakukan penelitian tentang pemeriksaan kebuntingan ternak sapi menggunakan urine. Teknik ini ternyata meniru "dokter" di Mesir sekitar 4000 tahun lalu, dimana disebutkan bahwa seorang perempuan yang akan didiagnosis kehamilannya diminta untuk kencing di kantong kain yang berisi biji gandum. Perempuan tersebut didiagnosis hamil apabila biji gandum dalam kantung yang dikencingi tumbuh dalam waktu 5 hari dan tidak hamil bila biji gandumnya tidak tumbuh.
Pada ternak sapi dilakukan dengan mengencerkan 1 ml urine sapi dengan 14 ml air di cawan petri yang berisi kertas saring dan 15 biji gandum. Juga disiapkan kelompok kontrol berisi air 15 ml. Setelah 5 hari dilihat pertumbuhan biji gandum yang sudah direndam dalam larutan urine sapi tadi.
Hasilnya adalah kebalikan dari hasil yang didapat pada manusia.Pada sapi yang bunting, tidak terjadi pertumbuhan biji gandum, biji gandum malah berubah warna menjadi coklat kehitaman. Sedangkan sapi yang tidak bunting dan kelompok kontrol, biji gandumnya tumbuh. Tes ini disebut Punyakoti seed germination atau gampangnya disebut Uji Punyakoti.
Uji kebuntingan modern pada manusia menggunakan  Human Chorionic Gonadotrophin (HCG) dari urine sebagai senyawa yang menentukan kebuntingan. Pada uji Punyakoti, ada senyawa lain yang menyusun urine yang digunakan untuk menentukan kebuntingan baik pada manusia maupun sapi (ruminansia). Selain urea dan asam urat yang dikeluarkan oleh urine sapi, bagian terpenting yang menentukan dalam uji Punyakoti ini adalah hormon tumbuhan yang disebut abscisic acid (ABA).
Fungsi utama ABA di urine pada biji-bijian adalah untuk mempertahankan masa dorman (masa inaktif). Pada urine sapi bunting ditemukan konsentrasi ABA yang relatif tinggi (170.62 nanomol/ml urine) sedangkan pada sapi tidak bunting sekitar 74.46 nanomole/ml urine. ABA inilah yang ditengarai mengakibatkan hambatan pertumbuhan pada biji gandum yang direndam dalam urine sapi.
Dilaporkan juga bahwa beberapa peternak memodifikasi uji Punyakoti ini dalam hal jenis biji-bijian yang digunakan untuk dilihat pertumbuhannya. Biji padi (gabah) juga dilaporkan digunakan untuk uji ini dan hasilnya mirip dengan biji gandum. Ternak yang diuji juga dilaporkan berkembang dari hanya sapi kemudian kerbau, domba dan kambing.
Uji ini cukup murah, mudah, sederhana, tidak invasif dari sudut pandang kesejahteraan hewan dan tidak memerlukan bahan kimia atau alat yang canggih. Peternak yang ada di daerah terpencil yang akses terhadap dokter hewan begitu terbatas bisa memanfaatkan uji Punyakoti untuk mendiagnosis kebuntingan hewan ternaknya.

Daftar Pustaka
Illawati, R. W. 2009. Efektifitas Penggunaan Berbagai Volume Asam Sulfat pekat (H2SO4) untuk Menguji Kandungan Estrogen dalam Urine Sapi Brahman Cross Bunting. Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian. Sijunjung.

Illawati, R.W., dkk., 2012. Efektifitas Dan Akurasi Penggunaan Erbagai Dosis Asam Sulfat (H2SO4) Pekat Dibandingkan Palpasi Per Rektal Terhadap Uji Kebuntingan Ternak Sapi. Program Pascasarjana Ilmu Ternak Universitas Andalas

Partodihardjo. S, 1992. Ilmu Reproduksi Hewan, Penerbit Mutiara Sumber Widya. Jakarta.

Satriyo, U. 2001. Deteksi Kebuntingan dengan Air Aki. Majalah Infovent. Edisi 086 September. Jakarta.

Toelihere, M. R, 1981. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa, Bandung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar