bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Selasa, 18 Juli 2017

PARADE 1001 KUDA SANDALWOOD : INTEGRASI TERNAK (KUDA)-PARIWISATA


Foto : merahputih.com

Kuda (Equus caballus) telah dikenal manusia sejak 5.500 tahun yang lalu. Pada jaman itu, kuda digunakan sebatas pengangkut barang, penarik pedati dan sebagai hewan tunggangan bagi para raja-raja dan para bangsawan.
Pada jaman kerajaan-kerajaan tua di Indonesia seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, kediri, dan Majapahit, kuda berperan sebagai hadiah dari raja kepada rakyat yang berjasa bagi raja, sebagai barang niaga atau komoditi ekonomi yang sudah diperdagangkan/dibarterkan, dan sebagai tenaga pembantu manusia dalam bidang transportasi.
Ketika Belanda menduduki Indonesia, perhatian VOC pada usaha peternakan kuda lebih banyak. Hal ini penting bagi VOC untuk kepentingan tentara Belanda, dimana kuda dimanfaatkan sebagai kendaraan perang/kavaleri.
Pada saat itu juga Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kuda-kuda dari Arab, Persia, dan Australia  untuk disilangkan dengan kuda asli Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan pusat pembibitan ternak kuda di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya ada di pulau Sumba. Hasil persilangan (grading up) antara kuda pony  yang merupakan kuda asli dengan kuda arab menghasilkan kuda Sandalwood yang dikenal hingga sekarang.
Saking populernya kuda Sandalwood, tak heran jika aktor Hollywood kawakan, Brad Pitt, pernah membeli enam ekor kuda Sandalwood untuk anak-anaknya. Meskipun mungkin yang dibeli Brad Pitt bukan berasal dari Pulau Sumba, namun artinya jenis kuda ini cukup populer dan diminati banyak orang. Para pembelinya memang kebanyakan dari kalangan menengah ke atas yang ingin menjadikannya sebagai koleksi atau sebagai hadiah imut untuk anak-anak mereka.
Pos Kupang, Minggu, 16 Juli 2017 memuat pendapat dari praktisi budaya Sumba Pater Robert Ramone CSsR, bahwa kuda bagi masyarakat Sumba berperan sebagai alat transportasi untuk mengantar manusia/barang dari satu kampung ke kampung lain yang belum ada jalan yang dilewati kendaraan umum, sebagai belis perempuan, serta untuk dipotong/sembelih pada saat upacara pemakaman. Sedangkan menurut Bupati Sumba Barat  Agustinus Niga Dapawole, kuda merupakan lambang keperkasaan, tontonan pada saat pasola dan pacuan kuda. (Pos Kupang, Minggu, 16 Juli 2017).
Ternyata peranan ternak kuda bukan saja sebatas seperti yang disebut diatas, namun dapat  diintegrasikan dengan pertanian, dimana hasil ikutan dari limbah pertanian digunakan untuk meningkatkan produktivitas dari ternak kuda. Selain integrasi dengan pertanian, ternak kuda juga dapat dintegrasikan dengan pariwisata. Bukti integrasi kuda dan pariwisata seperti atraksi ketangkasan melempar lembing kayu dari atas kuda antara dua kelompok yang berlawanan (pasola) dan Parade 1001 kuda sandalwood yang dapat mendatangkan devisa bagi kabupaten-kabupaten di pulau Sumba.
Kepada Kantor Berita Antara, Robert Ramone CSsR mengatakan bahwa penurunan populasi kuda Sandalwood di Pulau Sumba kian menurun dalam beberapa tahun terakhir. “Kalau merujuk pada masa kecil saya pada tahun 70-an populasi kuda Sandalwood itu masih sangat banyak jika dibandingkan dengan saat ini," katanya di Kupang, Jumat (14/7).
Menurut Bupati Sumba Tengah Umbu S. Pateduk, Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah mencatat hingga saat ini populasi kuda di daerah itu mencapai 7.000 ribu ekor kuda. "Jumlah tersebut gabungan dari kuda Sandalwood dan kuda pacu yang tinggi,  dimana kuda Sandelwood jumlahnya kurang lebih 20 persen dari jumlah tersebut.
Masih menurut Robert Ramone CSsR, jika dibandingkan dengan populasi kuda di Sumba Barat Daya, jumlah kuda di Sumba Tengah masih terbilang lebih banyak, karena jumlahnya hanya mencapai 251 ekor.
Agustinus Niga Dapawole dalam Pos Kupang Minggu, 16 Juli 2017, bahwa akhir-akhir ini terjadi penurunan populasi ternak kuda yang disebabkan tingginya pemotongan pada saat upacara kematian, dan dijual ke luar pulau Sumba.
Oleh sebab itu, hemat saya, untuk ke depan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten se pulau Sumba dalam hal ini Dinas Pariwisata untuk memikirkan adanya kegiatan parade 1001 kuda sandalwood dan festival tenun ikat dapat dipadukan dengan tari Kataga dan atau tari Woleka secara kolosal sehingga targetnya tidak saja tercatat dalam MURI, namun tercatat dalam Guinness Book of Record. Dengan masuknya even ini dalam Guinness Book of Record diharapkan even ini akan mendunia dan mendorong banyak turis mancanegara untuk datang menyaksikan, dengan demikian mendatangkan keuntungan bagi masyarakat pulau Sumba.
Untuk mempromosikan even ini, Pemerintah Kabupaten perlu membuat calendar of event dan bekerjasama dengan Association Sof The Indonesian Tour and Travel Agencies (ASITA) Nusa Tenggara Timur. Selain itu perlu dipikirkan olah raga ketangkasan berkuda berintegrasi pariwisata.
Guna menghambat penurunan populasi ternak kuda terutama kuda sandalwood, maka perlu dibuat peraturan yang membatasi kuota pengeluaran mengingat nilai jual kuda ini yang sangat tinggi. Sedangkan untuk mengembalikan kejayaan kuda sandalwood, Pemerintah Kabupaten se pulau Sumba melalui Dinas Peternakan perlu mendirikan kembali pusat pembibitan kuda sandalwood di pulau Sumba yang pernah didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanja tahun 1820.
©johnberek99@blogspot.com


PARADE 1001 KUDA SANDALWOOD : INTEGRASI TERNAK (KUDA)-PARIWISATA

Kamis, 06 Juli 2017

BERTANDANG KE KAMPUNG RUTENG






Compang dan Pohon Dadap
Beberapa waktu yang lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi kota Ruteng yang disponsori oleh Strategic Planning and Action Strengthen Climate Resilience of Rural Communities in East Nusa Tenggara Province (SPARC) untuk melakukan cek fisik Barang Milik Negara yang berasal dari hibah program SPARC.
Kota Ruteng merupakan Ibu Kota kabupaten Manggarai yang terletak di Pulau Flores Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Selesai melakukan tugas, kami di ajak oleh bapak Rosarius Naingalis selaku koordinator SPARC kabupaten Manggarai untuk mengunjungi salah satu destinasi wisata di kota Ruteng yakni Kampung Ruteng.

Kampung Ruteng (dok. pribadi)

Kampung Ruteng merupakan kampung tradisional yang terletak di kelurahan Golo Dukal kecamatan Langke Rembong yang berjarak ± 3 KM dari pusat kota. Untuk sampai ke Kampung Ruteng dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda-4 maupun kendaraan roda-2 dengan kondisi jalan baik dengan waktu tempuh ± 10 menit.
Pada jalan masuk utama ke pusat kampung Ruteng terdapat pekuburan yang berada disisi kiri jalan dan mata air disebelah kanan jalan.
Kampung Ruteng (dok. pribadi)
Menurut Pak Ros (sapaan akrab pak Rosarius) kampung Ruteng berpola melingkar dan mempunyai dua rumah adat khas manggarai yang berbentuk kerucut yakni Mbaru Tambor dan Mbaru Gendang dengan rumah-rumah penduduk yang tersusun rapi disamping-sampingnya. Pada bagian ujung atas rumah Tambor dan Gendang diletakkan tanduk kerbau. menurut pak Ros tanduk kerbau melambangkan kerja keras dan kewibawaan/kehormatan suatu kampung.

salah satu Rumah Adat di Kampung Ruteng (dok. pribadi)
Di sekitar halaman terdapat tempat bagi pejalan kaki yang terbuat dari susunan bebatuan yang disusun secara rapi. Pada bagian tengah kampung terdapat pohon dadap, dan compang  yakni altar batu yang tersusun rapi dari batu-batu sebagai tempat persembahan dan juga kuburan para leluhur yang telah meninggal.
Natas atau halaman kampung  digunakan oleh masyarakat sebagai tempat publik untuk melakukan ritual adat atau pergelaran seni seperti tarian Caci.
Lebih lanjut, menurut pak Ros bentuk kampung melingkar ini mengandung filosofi bahwa setiap keputusan harus dilakuan secara musyawarah dan mufakat dengan duduk bersama-sama.

Bila suatu saat anda berkunjung ke kota Ruteng, jangan lupa meluangkan waktu untuk menyaksikan sendiri keindahan kampung Ruteng, sehingga ketika orang lain bercerita tentang keindahan kampung Ruteng, maka anda boleh berbangga dengan mengatakan bahwa saya telah menginjakkan kaki di sana dan menyaksikan dengan mata kepala saya sendiri.
©johnberek99.blogspot.com