bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Kamis, 26 Februari 2015

Sikap Kerendahan Hati



Setelah mengetahui bahwa pembimbingnya, Chang Cong, sakit keras, Lao Tzu mengununginya. Terlihat jelas banwa Chang Cong mendekati akhir ajalnya.
“Guru, apakah guru mempunyai kata-kata bijak terakhir untukku?” kata Lao Tzu kepadanya.
“Sekalipun kamu tidak bertanya, aku akan mengatakan sesuatu kepadamu,” jawab Chang Cong.
“Apa itu?”
“Kamu harus turun dari keretamu bila kamu melewati kota kelahiranmu”.
“Ya, Guru. Ini berarti orang tidak boleh melupakan asalnya”.
“Bila kamu melihat pohon yang tinggi, kamu harus maju dan mengaguminya.”
“Ya, Guru. Ini berarti saya harus menghormati orang yang lebih tua.”
“Sekarang, lihat dan katakan apakah kamu dapat melihat lidahku,” kata Chang Cong, menundukkan dagunya dengan susah payah.
“Ya.”
“Apakah kamu melihat gigiku?”
“Tidak. Tak ada gigi yang tersisa.”
“Kamu tahu kenapa/” Tanya Chang Cong
“Aku rasa,” kata Lao Tzu setelah berpikir sejenak, “lidah tetap ada karena lunak. Gigi rontok karena mereka keras. Benar tidak?”
“Ya, anakku,” angguk Chang Cong. “Itulah kebijaksanaan di dunia. Aku tidak mempunyai apa-apa lagi untuk diajakahn kepadamu.”
Di kemudian hari, Lao Tzu mengatakan : “Tidak ada sesuatu pun di dunia yang selunak air. Namun tidak ada yang menggungulinya dalam mengalahkan yang keras. Yang lunak mengalahkan yang keras dan yang lembut mengalahkan yang kuat. Setiap orang tahu itu, tapi sedikit saja yang mempraktikkannya.” _Shuo Yuan (Abad I S.M._

©john berek99.blogspot.com

Senin, 23 Februari 2015

Nomophobia



Penulisan artikel ini terinpirasi setelah menonton acara 3 60 di Metro TV pada Sabtu, 21 Pebruari 2015 jam 22.05 Wita. Pada topik kedua 3 60 mengangkat tentang No Mobile Phone Phobia (Nomophobia) yakni ketakutan akan dipisahkannya pengguna dengan gadget kesayangannya. Menurut sebuah studi dari seribu orang di Inggris, 66% dari populasi ketakutan kehilangan phonsel. Beberapa gejala monophobia lainya adalah kecemasan dan gejala fisik negatif.
Jika kita memperhatikan di sekitar kita, terutama saat menggunakan transportasi umum atau berada di tempat keramaian, maka akan ditemukan fenomena menarik dimana kita akan temui orang-orang yang asik dengan gadgetnya masing-masing.
Bermain dengan smartphone dan tablet, seakan-akan lebih mengasyikkan daripada berdiskusi dengan orang lain. Satu hal yang ironis dapat kita lihat atau rasa ketika dalam kumpul keluarga, ternyata setiap anggotanya banyak yang asik dengan gadgetnya, bukan ngobrol dengan keluarga sendiri. Begitu pula apabila kita hadir dalam satu pertemuan atau rapat dimana rapat tersebut belum mulai maka akan terlihat bahwa hamper setiap orang asyik dengan gadgetnya masing-masing dari pada berdiskusi tentang topik rapat yang akan dibicarakan nanti. Seakan gadget sudah menjadi semacam 'fetish' yang menarik seluruh kesadaran mereka.
Ketergantungan orang-orang terhadap gadget dapat dengan kentara terlihat dalam kesehariannya. Ketika baru bangun tidur, hal pertama yang dilakukan biasanya adalah menggapai telepon genggam untuk memeriksa apakah ada notifikasi yang masuk atau tidak. Sampai ketika ingin menutup mata tak lupa untuk memberitahukan kepada khalayak ramai seantero media sosial bahwa dirinya akan tidur, lalu memasang bel penanda bangun diaktifkan dan kemudian gadgetnya diletakkan di tempat terdekat dan mudah terjangkau oleh tangan ketika terbangun. Ketika saya masih terperangkap dalam media social, kadang saya tertawa membaca status saya sekarang lagi berada di gereja xxxxx, atau saya sekarang lagi mengikuti ibadah hari minggu di gereja xxxxx, sehingga saya berpikir apakah kalo kita hendak menghadap Tuhan kita juga wajib untuk memberitahu kepada sahabat social media? Padahal itu urusan anda dan Tuhan anda yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Bahkan dalam gereja dan sedang mengikuti ibadah pun orang masih sempat-sempatnya memeriksa notifikasi, mengirim dan menerima SMS/panggilan hingga membaca dan meng-upload status. Lebih ironis lagi untuk “menjual diri” saja harus menggunakan gadget.
Berbagai informasi aktifitas dalam sehari dapat ditampung ke dalam sebuah akun media sosial di perangkat kecil bernama gadget, berbagai hal pula dapat dipermudah oleh fungsi-fungsi yang disuguhkan oleh gadget. Alasan tersebut menjadikan manusia begitu dekat dengan gadget dan kemudian menjadi keranjingan untuk selalu menggunakannya. Akhirnya perangkat-perangkat yang digunakan dalam keseharian tersebut merubah perilaku manusia, baik dalam bersosialisasi maupun dalam menyikapi suatu keadaan di sekitar atau mungkin lebih tepat untuk disebut pergeseran etika.
Adalah hal yang begitu menyebalkan ketika kita harus berhadapan dengan sahabat paling dekat yang sedang sibuk dengan gadgetnya, seolah-olah kita adalah tembok yang kurang memiliki arti ketimbang gadget. Pernah dalam sebuah jamuan makan malam disalah satu rumah makan, dimana saya melihat beberapa orang yang saling kenal sedang sibuk-sibuknya dengan gadgetnya masing-masing hingga muncul istilah “menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”. Permasalahan sosial berhasil diciptakan oleh gadget untuk orang-orang yang tak mampu mengendalikan ketergantungan terhadapnya. Interaksi langsung antar manusia tanpa media perantara bernama gadget atau kehangatan kedekatan fisik sedang membunuh dirinya sendirinya pelan-pelan. Saking telah menjadi kebiasaan, hal-hal tersebut menjadi tak terasa oleh para pecandu gadget.
Saya sendiri saat ini sedang mencoba untuk mengurangi ketergantungan tersebut, mulai dengan tidak terlalu aktif di beberapa media sosial, mengurangi obrolan-obrolan tak penting melalu berbagai aplikasi chatting, dan sebisa mungkin untuk tak menyentuh gadget. Hal tersebut terbilang sulit bagi kebanyakan orang namun bukan berarti tidak mungkin untuk dapat menggunakan sewajarnya. Berbagai siasat mulai dicoba untuk menjauhkan diri dari perilaku negatif penggunaan gadget. Salah satu cara yang diambil adalah mencoba menyibukkan diri dengan kegiatan yang tak berhubungan dengan gadget seperti membaca buku, menyelesaikan pekerjaan saya sebagai seorang pegawai pemerintah, menulis artikel sederhana yang kemudian dimuat pada blog pribadi saya atau berjalan-jalan menikmati panorama alam.
Saat ini penggunaan gadget seakan sudah menjadi kebutuhan yang sulit di lepaskan dari kegiatan sehari-hari. Banyak orang yang menggunakan gadget untuk mempermudah tugas dan pekerjaan atau  sebagai pengisi waktu luang, namun tanpa disadari penggunaan gadget secara terus menerus dapat mengakibatkan berbagai masalah seperti :
·         Text claw
Text claw adalah istilah non medis yang digunakan untuk menggambarkan semua kram jari dan nyeri otot yang berasal karena menggulir terus menerus dari SMS, game, browsing, dan lain-lain.
·         Peradangan pada leher
Membungkuk menatap smartphone anda selama berjam-jam pada satu waktu bisa merusak leher dan otot punggung. Menurut sebuah studi yang dilakukan di Inggris, 84% dari mereka mengalami sakit punggung akibat membungkuk menatap smartphone mereka. Tablet dan komputer memperbaiki posisi anda, dalam istilah kesehatan disebut "ergonomis". Membatasi penggunaan smartphone bisa mengurangi ketegangan otot leher.
·         Vision syndrome
Membaca tulisan yang mempunyai ukuran font kecil dapat menyebabkan kelelahan pada mata anda, penglihatan kabur, pusing, dan mata kering. Jika anda mengalami ketidaknyamanan dengan masalah ini, anda bisa merubah ukuran font menjadi lebih besar.
·         Syndrome getaran
Seorang profesor di Indiana University menemukan bahwa 89% dari mahasiswanya mengalami getaran hantu ketika ponesl mereka tidak benar-benar bergetar. Studi ini juga menemukan bahwa siswa yang bergantung pada pesan teks dan update di media sosial lebih cemas ketika phonsel mereka sedang tidak bergetar.
·         Pemicu Tindakan Kriminal.
Masih ingat dengan kasus Florence Sihobing, salah satun kandidat magister hukum pada Universitas  Gajah Mada Yogyakarta terancam dipenjara karena menulis status di social media yang mengkomplain pelayanan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Yogyakarta.
Untuk itu pergunakanlah gadget anda dalam berinteraksi di media social sebijak mungkin.
©johnberek99.blogspot.com


Selasa, 17 Februari 2015

Asal Mula Rabu Abu



Umat Israel mengenal hari pengampunan yang disebut Yom Kippur (José Ramos-Regidor, Il Sacramento della Penitenza, Riflessione Teologica, Biblico-Storico-Pastorale, Alla Luce del Vaticano II, Elle, Di Ci, Torino-Leumann, Cetak-ulang ke-5, 1985, 109). Ritus pertobatannya dalam bentuk berpuasa, menyobek pakaian, berpakaian karung kasar, menaburi kepala dengan abu dan belutut atau duduk di tanah sambil menangis di hadapan Yahwe. Sesudah itu seluruh umat duduk dalam diam sambil tetap berpuasa, meratap dan bersedih dalam penyesalan yang mendalam atas dosa-dosa. Upacara liturgis itu disertai dengan kata-kata yang intinya umat menyerahkan diri sepenuhnya pada perlindungan Yahwe. Pada umumnya, terlebih sesudah masa pembuangan, waktu itu ada pula pengakuan kolektif atau pertobatan masal oleh seluruh umat atau diwakili oleh para pemimpinnya di mana mereka mengakui kesalahan dan mohon pengampunan dari Yahwe.
Dalam liturgi tobat pada perayaan Yom Kippur tersebut umat menyatakan diri lagi atau membarui niatnya untuk kembali kepada Yahwe. Mereka bertobat dengan sepenuh hati, sebab mereka percaya bahwa Allah mengampuni orang yang hatinya remuk. Pengampunan dosa dihayati atau dirasakan sebagai penyembuhan, sebagai pembersihan atau pentahiran dan sebagai penganugerahan hati yang baru.
Yom Kippur (Ibrani: יוֹם כִּפּוּר atau יום הכיפורים‎, IPA: [ˈjom kiˈpur]), disebut hari pertobatan dan silih yang dirayakan dengan cara berpuasa dan berdoa. Yom dalam bahasa Ibrani artinya “hari” dan Kippur berasal dari akar kata yang artinya “menutup” atau “menyembunyikan” dan arti kedua adalah “menghapus” (dosa-dosa) sehingga disebut hari pengampunan. Ada pendapat lain yang menghubungkan Kippur dengan kapporet yang artinya “kursi kerahiman”
Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu duduk di atas abu.
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan simbolik yang sama. Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus (sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260-340) menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan abu untuk memohon pengampunan. Dalam abad kedelapan, mereka yang menghadapi ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil mengatakan “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.”
Setiap tahun, mengawali masa Prapaskah, umat Katolik  mengikuti Misa Rabu Abu. Masa Prapaskah tahun 2015 ini Rabu Abu jatuh tepat pada tanggal 18 Pebruari 2015.
Rabu Abu adalah hari pertama Masa Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska. Angka “40″ selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya, Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah, Tuhan Yesus sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai pewartaan-Nya.
Mengapa hari Rabu?
Gereja Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus), maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40 hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung mundur, jatuh pada hari Rabu).
Jadi penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40 hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.

Mengapa Rabu “Abu”?

Abu adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan, misalnya pada pertobatan Niniwe. Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita ini diciptakan dari debu tanah, dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar ucapan dari Pastor/Romo/Suster, “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil” atau, “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu” (you are dust, and to dust you shall return).”
Bagi orang awam, terutama non-Katolik, bisa saja hal ini mereka tidak paham, sehingga tidak heran ketika berpapasan dengan orang yang baru pulang dari gereja lalu ada abu di dahinya ditegur disangka kotoran. Padahal, debu yang menempel di dahi tersebut adalah abu yang sengaja dibubuhkan oleh pastor/Romo/Suster di gereja dalam Misa Rabu Abu.
Abu yang digunakan dalam upacara hari Rabu Abu ini dibuat dari hasil pembakaran daun-daun palma yang diberkati dan dipakai pada hari Minggu Palma tahun lalu. Abu tersebut selanjutnya diperciki air berkat dan didupai. Daun-daun palma yang tadinya digunakan untuk mengelu-elukan Yesus yang memasuki Yerusalem sebagai Raja  yang penuh kemenangan telah ditransformir menjadi abu yang merupakan tanda kedinaan, bahkan kematian. Dalam misteri paskah rasa sedih diubah menjadi sukacita, kedinaan diangkat menjadi kemuliaan, dan kematian dikalahkan oleh kehidupan. 
Bagi kita pertobatan merupakan ‘paruhan pertama’ dari misteri Paskah. Setiap kita harus bertanggung-jawab untuk menentukan apakah kebutuhan kita yang paling besar. Masa Prapaskah ini adalah  masa rahmat bagi kita untuk melakukan pemeriksaan atas diri kita sendiri. Di sini kita harus jujur mengenai dosa-dosa serta kelemahan-kelemahan kita, kemudian mengambil keputusan tegas, dengan rahmat Allah, untuk mengatasi dosa-dosa dan kelemahan-kelemahan termaksud. Tentang apa-apa saja yang harus kita lihat dalam pertobatan, maka ritus tobat Misa dapat dijadikan panduan.
Pertama :         adalah semangat kejujuran di hadapan Allah: kita mengaku bahwa kita telah berdosa.
Kedua :           adalah doa tobat ini menyatakan bahwa kita harus mempertimbangkan berbagai dosa dan kesalahan lewat pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian kita.
Ketiga :           adalah doa tobat ini juga seharusnya meningkatkan semangat kita karena menyadari bahwa ada dukungan doa-doa dari Santa Perawan Maria, para malaikat dan para kudus serta orang-orang Kristiani lain yang adalah saudara dan saudari kita. Mengenai pemeriksaan  batin itu sendiri, kita dapat menggunakan banyak cara, antara lain dengan menggunakan ‘Sepuluh Perintah Allah” dan “Lima Perintah Gereja”. 


 (dari berbagai sumber)

©johnberek99.blogspot.com