bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Rabu, 08 Oktober 2014

Sekelumit Sejarah Peternakan di NTT



SEKELUMIT SEJARAH PETERNAKAN DI NTT

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1905 membentuk Burgelijke Veeartsenijkundige Dienst (BVD) adalah dinas resmi yang menangani bidang peternakan sebagai bagian dari Departemen van Landbouw atau Departemen Pertanian.
Pada tahun 1908 VBD membeli tiga bangsa sapi yaitu Ongole, Gujarat dan Hissar/Benggala. Ternyata sapi ongole berkembang baik di pulau Jawa, sapi Gujarad di pulau Sumba dan sapi Hissar di pulau Sumatera. Pada tahun 1909 dan 1910 ternyata BVD memutuskan untuk lebih banyak membeli sapi Ongole. Sampai dengan tahun 1911 perkembangan sapi ongole lebih baik, sehingga diputuskan memilih sapi Ongole untuk perbaikan mutu sapi Jawa. Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program Ongolisasi yang dimulai tahun 1911. Untuk program Ongolisasi didatangkan sapi ongole dari India sampai tahun 1915, semua ternak pembelian terakhir sebanyak 608 ekor yang terdiri dari 42 ekor sapi ongole pejantan,  496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole ditempatkan di pulau Sumba yang kemudian dikenal dan memiliki merk dagang sapi Sumba Ongole (SO).
 Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan Kabupaten Sumba Timur (1989) pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor.
Perkembangan selanjutnya, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang-Undang Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967. Sapi ongole memang menjadi ciri khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur adalah padang rerumputan (sabana). Bentangan sabana kering tampak bagaikan lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi alam yang menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau Sumba, yang mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala. 
Salah satu bentuk penyebaran bibit ternak sapi Ongole di dalam program Ongolisasi ialah Sumba Kontrak yang resmi dimulai pada tahun 1912.
Sumba Kontrak adalah penempatan dan penyebaran sapi bibit ongole di pulau Sumba yang dilaksanakan dalam bentuk meminjamkan 12 induk dan 1 pejantan ongole kepada seorang peternak. Pengembalian pinjaman dilakukan oleh peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan dalam jumlah, umur dan komposisi kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang dipinjam, ditambah dengan 1 ekor keturunan (jantan atau betina) untuk setiap tahun selama peternak belum menulasi pinjamannya. Untuk perjanjian pinjaman ini, peternak menandatangani suatu kontrak dengan pemerintah, yang kemudian dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut Koppel, sehingga dikemudian hari muncul juga istilah sapi Koppel.
Dalam masa dua puluh tahun (1920 – 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua usaha penting yaitu :
1)      Penyebaran ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal di sekitar taman-taman ternak di pulai Jawa dan Madura.
2)      Penyebaran ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran sapi ongole dan peranakan ongole dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi, Kalimantan Barat dan Sumatera.
Penyebaran sapi Madura ke Pulau Flores dan Kalimantan Timur.
Penyebaran sapi bali dari pulau Bali ke Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Penulusuran sejarah masuknya sapi Bali di Pulau Timor seperti yang ditulis oleh Julianus Akoit yang dimuat pada Harian Umum Pos Kupang Sabtu, 18 Oktober 2008 dan tonykleden.blogspot.com/2008/.../dicari-gudang-ternak-sapi-di-pulau-timor. Minggu, 19 Oktober 2008 bahwa ada seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J. Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor. Catatan kecil Omerling itu, dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT, Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya setebal 200 halaman.
Ormeling mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia, yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling, pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000 ekor. Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000 ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan pakan terbaik ternak Sapi Bali. Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti, menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning). Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia. Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan. Akhirnya, sapi dan dagingnya menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang dibawa oleh saudagar asal Cina dan India. (dari berbagai sumber)

©johnberek99.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar