SEKELUMIT
SEJARAH PETERNAKAN DI NTT
Pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1905 membentuk Burgelijke Veeartsenijkundige Dienst (BVD)
adalah dinas resmi yang menangani bidang peternakan sebagai bagian dari
Departemen van Landbouw atau Departemen Pertanian.
Pada tahun 1908 VBD
membeli tiga bangsa sapi yaitu Ongole, Gujarat dan Hissar/Benggala. Ternyata sapi
ongole berkembang baik di pulau Jawa, sapi Gujarad di pulau Sumba dan sapi
Hissar di pulau Sumatera. Pada tahun 1909 dan 1910 ternyata BVD memutuskan untuk
lebih banyak membeli sapi Ongole. Sampai dengan tahun 1911 perkembangan sapi
ongole lebih baik, sehingga diputuskan memilih sapi Ongole untuk perbaikan mutu
sapi Jawa. Dari sinilah muncul untuk pertama kalinya Program Ongolisasi yang
dimulai tahun 1911. Untuk program Ongolisasi didatangkan sapi ongole dari India
sampai tahun 1915, semua ternak pembelian terakhir sebanyak 608 ekor yang
terdiri dari 42 ekor sapi ongole pejantan,
496 ekor sapi ongole betina serta 70 ekor anakan ongole ditempatkan di
pulau Sumba yang kemudian dikenal dan memiliki merk dagang sapi Sumba Ongole
(SO).
Dalam laporan tahunan Dinas Peternakan
Kabupaten Sumba Timur (1989) pada 1919, ekspor sapi ongole dari Pulau Sumba
tercatat sebanyak 254 ekor, dan pada tahun 1929, meningkat mencapai 828 ekor.
Perkembangan
selanjutnya, Sumba kembali ditetapkan sebagai pusat pembibitan sapi ongole
murni di masa pemerintahan Presiden Soeharto, melalui Undang-Undang Pokok
Peternakan dan Kesehatan Hewan Nomor 6 Tahun 1967. Sapi ongole memang menjadi ciri
khas Pulau Sumba, terutama Sumba Timur. Selain sapi, kekhasan lain Sumba Timur
adalah padang rerumputan (sabana). Bentangan sabana kering tampak bagaikan
lautan menguning. Kemarau panjang mencapai puncaknya di bulan Oktober. Kondisi
alam yang menantang ini menjadi rutinitas bagi sebagian penduduk di Pulau
Sumba, yang mengandalkan penghidupan mereka sebagai penggembala.
Salah satu bentuk
penyebaran bibit ternak sapi Ongole di dalam program Ongolisasi ialah Sumba
Kontrak yang resmi dimulai pada tahun 1912.
Sumba Kontrak adalah penempatan dan
penyebaran sapi bibit ongole di pulau Sumba yang dilaksanakan dalam bentuk
meminjamkan 12 induk dan 1 pejantan ongole kepada seorang peternak.
Pengembalian pinjaman dilakukan oleh peminjam dengan mengembalikan ternak keturunan
dalam jumlah, umur dan komposisi kelamin yang sama dengan jumlah ternak yang
dipinjam, ditambah dengan 1 ekor keturunan (jantan atau betina) untuk setiap
tahun selama peternak belum menulasi pinjamannya. Untuk perjanjian pinjaman
ini, peternak menandatangani suatu kontrak dengan pemerintah, yang kemudian
dikenal dengan Sumba Kontrak. Jumlah ternak awal disebut Koppel, sehingga
dikemudian hari muncul juga istilah sapi Koppel.
Dalam masa dua puluh
tahun (1920 – 1940) penyebaran ternak bibit, terjadi dua usaha penting yaitu :
1) Penyebaran
ternak bibit dan bibit tanaman makanan ternak secara lokal di sekitar
taman-taman ternak di pulai Jawa dan Madura.
2) Penyebaran
ternak bibit antar pulau dan antar daerah, yaitu penyebaran sapi ongole dan
peranakan ongole dari pulau Jawa ke Sumbawa, Sulawesi, Kalimantan Barat dan
Sumatera.
Penyebaran sapi Madura ke Pulau
Flores dan Kalimantan Timur.
Penyebaran sapi bali dari pulau
Bali ke Lombok, Timor, Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan.
Penulusuran
sejarah masuknya sapi Bali di Pulau Timor seperti yang ditulis oleh Julianus
Akoit yang dimuat pada Harian Umum Pos Kupang Sabtu, 18 Oktober 2008 dan tonykleden.blogspot.com/2008/.../dicari-gudang-ternak-sapi-di-pulau-timor.
Minggu, 19 Oktober 2008 bahwa ada
seorang ahli Geografi berkebangsaan Belanda yang menjabat sebagai Kepala Kantor
Goegrafi Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia (Jakarta) bernama F.J.
Ormeling, menulis beberapa catatan kecil, hasil pengamatannya terhadap
orang-orang, tumbuhan dan ternak Pulau Timor. Catatan kecil Omerling itu,
dijadikan buku oleh J.B. Wolters dengan judul "The Timor Problem: A
Geographical Interpretation of An Underdeveloped Island" dan diterbitkan
oleh Djakarta and Groningen pada tahun 1956. Seorang kurator terkenal dari NTT,
Drs. Wilfridus Silab, menyelamatkan buku tua ini dan membuat terjemahannya
setebal 200 halaman.
Ormeling
mencatat, Sapi Bali didatangkan Pemerintah Hindia Belanda pertama kali ke Pulau
Timor pada tahun 1912. Sepanjang tahun 1912, tercatat 2.700 ekor ternak dimuat di
atas Kapal Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM/Kapal Barang) dibawa ke
Pulau Timor. Rinciannya, 1.000 ekor sapi, sisanya kerbau, kuda dan kambing.
Pada
tahun 1919, Burgerlijke Veerartsenij Kundige Diensa (BVD/Jawatan Kehewanan
Sipil Hindia Belanda) mengambil alih 'impor' Sapi Bali ke Pulau Timor. Upaya
ini terpaksa dilakukan untuk membendung sapi impor dari India dan Australia,
yang didatangkan beberapa pedagang Cina dan India. Menurut catatan Omerling,
pada tahun 1920 jumlah ternak sapi yang masuk ke Pulau Timor menjadi 138.000
ekor. Catatan terakhir Omerling, menyebutkan sepanjang tahun 1952, ada 108.000
ekor Sapi Bali, 40.000 ekor kerbau dan 64.000 ekor kuda yang diangkut oleh
beberapa kapal barang ke Pulau Timor. Ternak ini diturunkan di Pelabuhan Tenau
di Kupang, Pelabuhan Wini di TTU dan Pelabuhan Atapupu di Belu.
Ada catatan menarik
yang dibuat oleh Omerling. Ketika mengirim ternak ke Pulau Timor, pemerintah
Hindia Belanda juga mengirim bibit tanaman Jatropha Gussypifolia (lantana
cemara), dalam bentuk ribuan stek dan ratusan ribu biji dalam kemasan belasan
karung. Tanaman ini, menurut Omerling adalah makanan khas Sapi Bali, bahkan
pakan terbaik ternak Sapi Bali. Peternak sapi di TTU, khususnya di Noemuti,
menyebut tanaman lantana cemara dengan sebutan Suf Molo (bunga kuning).
Sedangkan bagi peternak sapi di Miomaffo dan Insana, menyebut tanaman untuk
sapi ini dengan istilah 'Pankase'. Di TTS, Camplong dan Amarasi, tanaman unik
ini disebut dengan istilah Haukopas.
Ternak
sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia ini diserahkan Belanda kepada para raja di
Timor untuk dikembangbiakkan. Para raja kemudian memerintahkan para kepala suku
dan rakyatnya untuk mengembangkan ternak sapi dan bibit Jatropha Gussypifolia.
Sapi dan tanaman ini pun dikembangkan secara luas di Amarasi, Camplong dan
Amfoang (Kupang), Amanatun, Amanuban dan Molo (TTS), Miomaffo, Insana dan
Biboki (TTU) dan di Belu Utara dan Selatan. Akhirnya, sapi dan dagingnya
menjadi bagian dan simbol dari urusan adat di Timor, seperti denda adat, mahar
kawin, pesta adat dan sebagainya. Bahkan perdagangan sistem barter di pedalaman
Pulau Timor, dilakukan dengan cara menukar sapi dengan kain dan benang yang
dibawa oleh saudagar asal Cina dan India. (dari
berbagai sumber)
©johnberek99.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar