Penulisan artikel ini
terinpirasi setelah menonton acara 3 60 di Metro TV pada Sabtu, 21 Pebruari
2015 jam 22.05 Wita. Pada topik kedua 3 60 mengangkat tentang No Mobile Phone Phobia (Nomophobia)
yakni ketakutan akan dipisahkannya pengguna dengan gadget kesayangannya. Menurut
sebuah studi dari seribu orang di Inggris, 66% dari populasi ketakutan
kehilangan phonsel. Beberapa gejala monophobia lainya adalah kecemasan dan
gejala fisik negatif.
Jika kita memperhatikan
di sekitar kita, terutama saat menggunakan transportasi umum atau berada di
tempat keramaian, maka akan ditemukan fenomena menarik dimana kita akan temui
orang-orang yang asik dengan gadgetnya masing-masing.
Bermain dengan
smartphone dan tablet, seakan-akan lebih mengasyikkan daripada berdiskusi
dengan orang lain. Satu hal yang ironis dapat kita lihat atau rasa ketika dalam
kumpul keluarga, ternyata setiap anggotanya banyak yang asik dengan gadgetnya,
bukan ngobrol dengan keluarga sendiri. Begitu pula apabila kita hadir dalam
satu pertemuan atau rapat dimana rapat tersebut belum mulai maka akan terlihat bahwa
hamper setiap orang asyik dengan gadgetnya masing-masing dari pada berdiskusi
tentang topik rapat yang akan dibicarakan nanti. Seakan gadget sudah menjadi
semacam 'fetish' yang menarik seluruh kesadaran mereka.
Ketergantungan
orang-orang terhadap gadget dapat dengan kentara terlihat dalam kesehariannya.
Ketika baru bangun tidur, hal pertama yang dilakukan biasanya adalah menggapai
telepon genggam untuk memeriksa apakah ada notifikasi yang masuk atau tidak.
Sampai ketika ingin menutup mata tak lupa untuk memberitahukan kepada khalayak
ramai seantero media sosial bahwa dirinya akan tidur, lalu memasang bel penanda
bangun diaktifkan dan kemudian gadgetnya diletakkan di tempat terdekat dan
mudah terjangkau oleh tangan ketika terbangun. Ketika saya masih terperangkap
dalam media social, kadang saya tertawa membaca status saya sekarang lagi
berada di gereja xxxxx, atau saya sekarang lagi mengikuti ibadah hari minggu di
gereja xxxxx, sehingga saya berpikir apakah kalo kita hendak menghadap Tuhan
kita juga wajib untuk memberitahu kepada sahabat social media? Padahal itu
urusan anda dan Tuhan anda yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Bahkan dalam
gereja dan sedang mengikuti ibadah pun orang masih sempat-sempatnya memeriksa
notifikasi, mengirim dan menerima SMS/panggilan hingga membaca dan meng-upload
status. Lebih ironis lagi untuk “menjual diri” saja harus
menggunakan gadget.
Berbagai informasi
aktifitas dalam sehari dapat ditampung ke dalam sebuah akun media sosial di
perangkat kecil bernama gadget, berbagai hal pula dapat dipermudah oleh
fungsi-fungsi yang disuguhkan oleh gadget. Alasan tersebut menjadikan manusia
begitu dekat dengan gadget dan kemudian menjadi keranjingan untuk selalu
menggunakannya. Akhirnya perangkat-perangkat yang digunakan dalam keseharian
tersebut merubah perilaku manusia, baik dalam bersosialisasi maupun dalam
menyikapi suatu keadaan di sekitar atau mungkin lebih tepat untuk disebut pergeseran
etika.
Adalah hal yang begitu
menyebalkan ketika kita harus berhadapan dengan sahabat paling dekat yang
sedang sibuk dengan gadgetnya, seolah-olah kita adalah tembok yang kurang
memiliki arti ketimbang gadget. Pernah dalam sebuah jamuan makan malam disalah
satu rumah makan, dimana saya melihat beberapa orang yang saling kenal sedang
sibuk-sibuknya dengan gadgetnya masing-masing hingga muncul istilah “menjauhkan
yang dekat dan mendekatkan yang jauh”. Permasalahan sosial berhasil
diciptakan oleh gadget untuk orang-orang yang tak mampu mengendalikan
ketergantungan terhadapnya. Interaksi langsung antar manusia tanpa media perantara
bernama gadget atau kehangatan kedekatan fisik sedang membunuh dirinya
sendirinya pelan-pelan. Saking telah menjadi kebiasaan, hal-hal tersebut
menjadi tak terasa oleh para pecandu gadget.
Saya sendiri saat ini
sedang mencoba untuk mengurangi ketergantungan tersebut, mulai dengan tidak
terlalu aktif di beberapa media sosial, mengurangi obrolan-obrolan tak penting
melalu berbagai aplikasi chatting, dan sebisa mungkin untuk tak menyentuh
gadget. Hal tersebut terbilang sulit bagi kebanyakan orang namun bukan berarti
tidak mungkin untuk dapat menggunakan sewajarnya. Berbagai siasat mulai dicoba
untuk menjauhkan diri dari perilaku negatif penggunaan gadget. Salah satu cara
yang diambil adalah mencoba menyibukkan diri dengan kegiatan yang tak
berhubungan dengan gadget seperti membaca buku, menyelesaikan pekerjaan saya
sebagai seorang pegawai pemerintah, menulis artikel sederhana yang kemudian
dimuat pada blog pribadi saya atau berjalan-jalan menikmati panorama alam.
Saat ini penggunaan
gadget seakan sudah menjadi kebutuhan yang sulit di lepaskan dari kegiatan
sehari-hari. Banyak orang yang menggunakan gadget untuk mempermudah tugas dan
pekerjaan atau sebagai pengisi waktu luang, namun tanpa disadari
penggunaan gadget secara terus menerus dapat mengakibatkan berbagai masalah
seperti :
·
Text claw
Text
claw adalah istilah non medis yang digunakan untuk menggambarkan semua kram
jari dan nyeri otot yang berasal karena menggulir terus menerus dari SMS, game,
browsing, dan lain-lain.
·
Peradangan pada leher
Membungkuk
menatap smartphone anda selama berjam-jam pada satu waktu bisa merusak leher
dan otot punggung. Menurut sebuah studi yang dilakukan di Inggris, 84% dari
mereka mengalami sakit punggung akibat membungkuk menatap smartphone mereka.
Tablet dan komputer memperbaiki posisi anda, dalam istilah kesehatan disebut
"ergonomis". Membatasi penggunaan smartphone bisa mengurangi
ketegangan otot leher.
·
Vision syndrome
Membaca
tulisan yang mempunyai ukuran font kecil dapat menyebabkan kelelahan pada mata
anda, penglihatan kabur, pusing, dan mata kering. Jika anda mengalami
ketidaknyamanan dengan masalah ini, anda bisa merubah ukuran font menjadi lebih
besar.
·
Syndrome getaran
Seorang
profesor di Indiana University menemukan bahwa 89% dari mahasiswanya mengalami
getaran hantu ketika ponesl mereka tidak benar-benar bergetar. Studi ini juga
menemukan bahwa siswa yang bergantung pada pesan teks dan update di media
sosial lebih cemas ketika phonsel mereka sedang tidak bergetar.
·
Pemicu Tindakan Kriminal.
Masih ingat dengan kasus Florence
Sihobing, salah satun kandidat magister hukum pada Universitas Gajah Mada Yogyakarta terancam dipenjara
karena menulis status di social media yang mengkomplain pelayanan Stasiun
Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Yogyakarta.
Untuk
itu pergunakanlah gadget anda dalam berinteraksi di media social sebijak
mungkin.
©johnberek99.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar