Atambua adalah sebuah kecamatan sekaligus ibu kota kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Sebagian besar
masyarakatnya berbahasa Tetun, dan sebagian kecil berbahasa Kemak, Bunak,
Dawan.
Kota
yang terletak di daerah Timor Barat ini merupakan salah satu pusat
penampungan pengungsi dari Timor Timur pada tahun 2000 pasca pengumuman
jejak pendapat di Timor Timur.
Sementara
itu Belu, dalam bahasa Tetun berarti sahabat atau teman, melandasi cita-cita
masyarakat Belu untuk membangun Rai Belu dengan rasa kebersamaan dan rasa
persaudaraan tanpa dibatasi sekat-sekat keanekaragaman yang ada, baik suku,
agama maupun yang lainnya. Dengan persatuan dan persaudaraan, cita-cita untuk
mewujudkan Belu Sejahtera akan tercapai
Atambua terletak sekitar 300 m dpl,
dengan suhu berkisar antar 27-37 derajat celcius membuat daerah ini cukup
hangat. Sekeliling kota Atambua dipagari oleh perbukitan sehingga kota Atambua
cukup terlindungi dari terjangan angin yang keras, namun ini juga menyebabkan
tidak banyak dataran yang rata di seputar kota Atambua. Kota Atambua saat ini
membentang sejauh kurang lebih 8,5 Km dari Utara (Haliwen) ke Selatan
(Motabuik) dan sekitar 5 Km dari Timur (Fatubenao) ke Barat (Wekatimun). atau
kurang lebih seluas 42 Km persegi, namun daerah yang dihuni baru sekitar 1/2
bagiannya atau kurang lebih 20 Km persegi karena sebagian lainnya merupakan
daerah berbukit atau karena kurangnya akses jalan.
Letak
kota ini sangat sentral, persis di tengah tengah pulau Timor. Di bagian timur
ada kota-kota seperti Maliana, Suai, Likisa, Ermera, dan Dili (semua itu
sekarang masuk negara Timor Leste). Di bagian barat ada Kefemenanu, Oecuse,
SoE, dan Kupang (selain Oecuse yang masuk Timor Leste), semuanya termasuk
Atambua adalah bagian dari wilayah Indonesia). Ketika pergolakan di bekas
Propinsi ke-27 itu terjadi lagi di tahun 1999, lagi-lagi Atambua menjadi tujuan
utama para pengungsi korban pergulatan politik, saudara-saudaranya se-etnis,
seperti yang sudah terjadi di tahun 1975.
Adalah
seorang Belanda yang coba merangkum arti nama kota Atambua, dari sumber-sumber
lisan yang didengarnya. Tuan Vrocklage melukiskan, di pinggir kali Talau, dekat
titik batas antara wilayah kerajaan Lidak dan Fialaran, tapi masih di bagian
wilayah Fialaran (di Fatubenao sakarang), di waktu dulu orang sering bertemu
untuk untuk melakukan transaksi jual-beli budak. Boleh jadi budak-budak yang
dibawa ke pasar tradisional ini kebanyakan adalah orang-orang yang dicap suangi
atau tukang sihir. Budak-budak itu selain berasal dari Lidak, Naetimu, Mandeu,
Fialaran, Lamaknen dan Maukatar kemungkinan didatangkan juga dari daerah-daerah
di Timor bagian tengah seperti dari Biboki dan Insana, juga dari daerah selatan
Belu dan dari Koa-Balibo. Kata bahasa Belu (Tetun) untuk suangi adalah buan
dan untuk hamba adalah ata. Dari dua kata inilah kemudian muncul nama
Atambua, yang berarti 'hamba suangi' atau 'Hamba yang Suangi'. Pasar ini
kemudian dipindahkan ke seberang sungai Talau (di pasar lama sekarang). Dari
sini para budak tersebut dibawa dalam keadaan terikat/terbelenggu ke Atapupu,
pelabuhan yang terdekat. Di sana para budak itu diikat di suatu tempat sambil
menunggu kapal penjajah yang datang untuk memuat mereka. Dari sinilah asal nama
Atapupu dari kata ata futu (Ata: hamba – pupu dari futu: ikat): tempat para
hamba diikat.
Bagian utara Belu sejak dulu sudah
terbuka. Demikian juga pengaruh budaya asing sangat kental di daerah ini.
Katakan saja dansa. Dulu pesta-pesta dirayakan dengan tarian adat seperti
Likurai dan tebe. Tapi pengaruh barat yang dibawa penjajah Portugis maupun
Belanda telah membuat tarian dansa ala barat lebih populer di daerah ini. Tiada
pesta tanpa dansa – entah itu Walz, Salsa dan Cha-cha-cha dalam motif gerak lokal
ataupun dansa TOMBAK yang sangat populer di sana.
Atambua juga kota ojek? Untuk NTT Ojek
dimulai pertama dan dipopulerkan di Atambua, sehingga tidaklah heran bahwa di
dalam kota ini jumlah sepeda motor hampir 5 kali lipat dari jumlah mobil
angkutan umum. (dari berbagai sumber)
©johnberek@blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar