bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Senin, 18 Mei 2015

Hari Komunikasi Sosial Sedunia Tahun 2015



Dua orang yang saling menaruh cinta kasih, saling kehilangan karena salah seorang menghilang. Mereka telah berjanji tetap setia, takkan saling melupakan. Tetapi kesetiaan yang demikian itu begitu sulit. Gigi-gigi waktu telah menggerogotinya. Pengkhianatan dari dalam mengingkari kesetiaan itu. Dengan bermacam liku-liku kebimbangan mulai merembes masuk.
Minggu, 17 Mei 2015 yang bertepatan dengan pekan VII paskah, Gereja memperingati hari komunikasi sosial sedunia ke - 49.
Melalui perayaan Ekaristi Kudus memperingati Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-49 ini, Gereja mengajak kita untuk terus “mengkomunikasi Keluarga: Tempat Istimewa Karunia Kasih”. Menjadikan Keluarga sebagai tempat dimana setiap anggota belajar berkomunikasi, mengalami kehangatan cinta, menumbuhkan belas kasihan, dan pengampun.
Sejalan dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini, keluarga sebagai tempat istimewa bagi pertumbuhan iman dan cinta dihadapkan pada situasi dan kondisi lingkungan yang diwarnai oleh pengaruh kuat sarana komunikasi modern. Dalam situasi demikian, keluarga sering dan bahkan selalu menemukan dunia di mana orang saling menaburkan perselisihan dan meracuni lingkungan manusiawi dengan gosip lewat media komunikasi. Meski terus diingatkan untuk tetap menjalankan tugas perutusannya yakni mengajarkan komunikasi sebagai sebuah berkat, tidak jarang muncul sikap acuh tak acuh dari keluarga kristiani.
Komunikasi dalam keluarga dan/atau sesama anggota keluarga.
Dalam konteks keluarga itulah kita pertama-tama belajar bagaimana berkomunikasi. Sebagai contoh ketika seorang bayi mulai belajar berbicara, yang pertama kali disebutkan adalah bapa atau mama, setelah dia sudah bisa mulai lancar berbicara, maka kita akan mengajarkan bagaimana membuat tanda salib ataupun melatih berdoa bapa kami, salam maria, dan doa spontan lainnya yang mudah dan pendek. Ini berarti bahwa komunikasi pada awalnya terjadi dalam keluarga, dan keluargalah yang menjadi sekolah pertama bagi sang anak.
Apabila dalam keluarga kita berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan kata-kata “kotor” atau kata-kata yang tidak sepantasnya, maka anak anak merekamnya dan tidak heran aapabila kata-kata tersebut dipakainya dalam pergaulannya sehari-hari. Dengan demikian hal ini akan mencerminkan situasi komunikasi dalam satu komunitas yang disebut keluarga.
Di dalam keluarga itulah kita belajar bagaimana masing-masing bisa saling berbagi dan mendukung, belajar mampu mengartikan secara tepat ekspresi wajah orang dan membaca isi hatinya sekalipun diam tak berkata-kata; kita tertawa dan menangis bersama pribadi-pribadi yang tidak saling memilih tetapi begitu berarti satu sama lain. Realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna komunikasi sebagai kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan mempertautkan.

Keluarga dan Teknologi Informatika dan Komunikasi.
Ketua Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia Mgr. Petrus Turang yang juga Uskup Agung Kupang dalam homili pada Misa Penutupan Pekan Komunikasi Sosial Nasional – Konferensi Waligereja Indonesia (PKSN-KWI) di Gereja Katedral Sorong, Papua, Minggu (17/5/2015) menyatakan dengan kemajuan teknologi informatika dan komunikasi ini, kita sedang berada dalam perubahan yang dasyat. “Global Village” tumbuh dimana-dimana. Di desa atau kampung, biasanya orang saling kenal dan saling menyapa secara “face to face”, tetapi dalam “global village” nyatanya orang semakin terasing di tengah kemajuan teknologi dengan segala gadgetnya. Orang jarang melakukan “face to face” lagi, kebanyakan mereka menggunakan call, sms ataupun facebook untuk memberi tahu keadaan, undangan ataupun suatu peristiwa.
Kehadiran dunia digital dalam keluarga semakin menjadi dengan kehadiran jari yang saling menyapa secara pribadi. Jari manusia dalam keluarga semakin dikuasai oleh cara kerja baru, yaitu penyapaan dalam bentuk maya yang bermakna. Memang, maknanya memperluas jejaring komunikasi, biarpun kehadiran pribadi secara fisik berkurang atau bahkan hilang.
Anggota keluarga dapat menjauh dari makan bersama akibat ketagihan dalam penggunaan alat komunikasi modern. Jadi, di samping kemajuan dalam membangun peradaban baru, keluarga-keluarga juga terperangkap dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak nyata melalui keinginan-keinginan yang dibentuk di luar kemauan kita akibat iklan atau fitur-fitur lain dalam teknologi komunikasi.
Pergerakan “on line” dalam keluarga nampaknya semakin menjadikan sesama anggota keluarga “orang lain”, sehingga komunikasi manusiawi memudar dan hubungan pribadi menjadi samar-samar.
Di tengah perubahan demikian, keluarga memang mengalami kegembiraan berjejaring, namun kemesraan keluarga harus berhadapan dengan senjata teknologi yang sangat ampuh menyodorkan gaya khusus yang berbeda.
Dampak yang memukau dari teknologi komunikasi dapat menyebabkan keretakan dalam keluarga, persaingan kepemilikan gadget dalam keluarga, bahkan kecurigaan serta ketidakpercayaan satu sama lain.
Dapat muncul gossip dalam keluarga atau antar keluarga akibat pemakaian alat komunikasi yang tidak bertanggungjawab. “Pemberdayaan teknologi komunikasi tidak dengan sendirinya memberdayakan hubungan pribadi dalam keluarga: kebiasaan adat istiadat yang baik dan yang merukunkan dapat menjadi luntur akibat pengaruh konsumeristik media sosial digital
 “Kita dapat mengirim teks-teks Kitab Suci melalui gadget tetapi apakah perilaku kita sesuai dengan teks Kitab Suci yang kita kirimkan? Kita dapat mengirimkan doa secara virtual, tetapi apakah kita adalah manusia pendoa? Apakah kita masih membaca Kitab Suci dan berdoa bersama dalam keluarga atau cukup melalui sms atau BB?,”tanya Monsinyur Turang.
Kita berharap, kata Monsinyur, keluarga kita tetap “selfie” dalam anugerah cintakasih dan bukan saja memamerkan “selfie keluarga” demi kehebatan dan ketenaran dalam istagram atau facebook! Pertanyaannya, apakah dengan semua yang baik ini, keluarga kita semakin menjadi Katolik dan Kristiani? Suka damai, rukun, peduli sesama dan memerhatikan mereka yang lemah serta saling membantu untuk menjadi murid-murid Kristus yang
“Karena itu, jangan takut dan beranilah menjadi keluarga Kristiani yang baik dan benar. Salah satu tanda dari anugerah cintakasih adalah rela berkorban seperti Kristus yang datang untuk melayani sesama menurut kehendak Bapa-Nya. Ingatlah bahwa komunikasi dalam keluarga sangat ditentukan oleh tiga hal, yaitu permisi (may I), terima kasih (thank you) dan minta maaf (excuse me) !”tegas Monsinyur Turang.

Permasalahan sosial akibat kemajuan Teknologi informatika dan komunikasi.
Kejadian pada suatu rumah makan, duduk beberapa orang untuk pada meja makan sambil memesan makanan, sementara menunggu pesanan, nampak masing-masing sibuk dengan gadgetnya sendiri, ada yang serius mengutak atik keypadmaupun layar, ada yang senyum-senyum, ada yang tertawa-tawa. nampak tidak terlihat adanya komunikasi yang hangat diantara mereka. Ketika pesanan mereka datang, nampak masing-masing menikmati pesanannya sambil jari-jari menari-nari diatas keypad maupun layar.
Ketika baru bangun tidur, hal pertama yang dilakukan biasanya adalah menggapai telepon genggam untuk memeriksa apakah ada notifikasi yang masuk atau tidak. Sampai ketika ingin menutup mata tak lupa untuk memberitahukan kepada khalayak ramai seantero media sosial bahwa dirinya akan tidur, lalu memasang bel penanda bangun diaktifkan dan kemudian gadgetnya diletakkan di tempat terdekat dan mudah terjangkau oleh tangan ketika terbangun.
Kedaaan seperti mengakibatkan adanya pergeseran etika dan membuat orang disekitar seolah-olah tembok yang kurang memiliki arti ketimbang gadget.
Lebih ironis lagi gadget digunakan sebagai sarana untuk “menjual diri” hal ini terlihat dari maraknya prostitusi on line akhir-akhir ini.
Kita tidak dapat menghindar dari kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi yang berkembang pesat saat ini. Mau tidak mau, suka tidak suka kita harus menghadapinya dengan segala konsekuensinya. Untuk itu pergunakan alat-alat komunikasi dan informatika secara bijaksana dan sesuai dengan peruntukannya.
Bagaimana kita tetap mempertahankan “face to face” tanpa menyesampingkan “Global Village” sehingga tidak muncul istilah “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” tapi “mendekatkan yang jauh dan memperat yang dekat”

Solusi
Mencoba untuk mengurangi ketergantungan tersebut, mulai dengan tidak terlalu aktif di beberapa media sosial, mengurangi obrolan-obrolan tak penting melalu berbagai aplikasi chatting,
Mencoba menyibukkan diri dengan kegiatan yang tak berhubungan dengan gadget seperti membaca buku, menulis artikel sederhana yang kemudian dimuat pada blog pribadi, atau melakukan perjalanan menikmati panorama alam.

Salam dan doa
dari seorang sahabat
untuk para sahabatnya.
©johnberek99.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar