bae sonde bae ..... yang penting beta menulis dan bercerita

Jumat, 21 Oktober 2016

DARI JAMAN BATU, MENUNDA BUANG AIR BESAR, HINGGA BATU NISAN



Siapa yang tidak mengenal batu? Semua orang, baik anak kecil maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, orang kampung maupun orang kota pasti mengenal batu dan pernah menggunakannya. Batu dapat digunakan untuk hal-hal yang memberi kebaikan dan keuntungan, namun batu juga dapat digunakan untuk hal-hal yang merugikan. Selain itu batu juga dapat dijadikan cerita mitos.

Pada jaman prasejarah, manusia telah mengenal menciptakan alat dari batu yang digunakan sebagai senjata untuk berburu, mempertahankan diri dari serangan musuh dan binatang buas, selain itu batu digunakan sebagai alat pemotong untuk mengolah bahan makanan. Jaman ini dikenal dengan jaman batu.

Seiring dengan perjalanan waktu manusia mulai mengenal peradaban,  mereka mulai mencari tempat untuk tinggal menetap dan berkebun. Mereka mulai membuat tempat tinggal yang pondasi dan dindingnya terbuat dari batu. Untuk pondasi mereka biasanya menggunakan batu karang atau batu kali, sedangkan untuk dinding menggunakan batu karang, batu kali, atau batu merah (batu bata).

Batu pun dapat dijadikan tungku masak. Menggunakan tiga buah batu yang diletakkan menyerupai segi tiga sama sisi ini dikenal dengan batu tungku. Batu tungku ini dahulu digunakan untuk memasak sebelum ada kompor minyak tanah atau kompor gas seperti sekarang ini, karena bahan bakar tungku adalah kayu kering.
Filosofi batu tungku ini yang mengilhami lahirnya program gubernur NTT ke-7 Piet A. Tallo SH, yang dikenal dengan program tiga batu tungku (ekonomi rakyat, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat).

Suku-suku di pedalaman/pegunungan Papua seperti suku Dani terdapat tradisi yang dikenal dengan nama pesta Bakar Batu, dimana warga satu kampung memasak bersama-sama yang bertujuan untuk bersyukur, atau untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Dalam tradisi bakar batu, dimana batu ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu menjadi panas (kadang sampai merah membara). Bersamaan dengan itu, warga yang lain menggali lubang yang cukup dalam, kemudian batu panas tadi dimasukkan ke dasar lubang yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang. Di atas batu panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi yang sudah diiris-iris, di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya diletakkan batu panas lagi dan ditutup dengan daun. Kemudian di atas daun diletakkan ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayur-sayuran lainnya dan ditutup daun lagi. Selanjutnya di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan terakhir ditutup daun pisang dan alang-alang.

Di pulau Nias terdapat tradisi Melompat Batu/Fahombo Batu yang biasa dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.

Orang Maluku terutama di Pulau Tanibar, juga menggunakan batu sebagai salah satu cerita rakyat mereka yakni Batu Badaong. Batu yang konon dapat menelan manusia ini, hingga kini masih terus diceritakan kepada anak-anak dan cucu-cucu sebagai cerita pengantar tidur.

NTT juga tidak kalah dengan daerah lain,  sebut saja Batu Termanu di Pulau Rote yang merupakan pulau terluar bagian selatan Indonesia. Batu ini memberi kesan anggun sekaligus perkasa, mistis sekaligus eksotis yang kita rasakan kala melihatnya. Konon, kedua batu itu adalah sepasang suami istri. Batu menjulang yang ada di darat itu istrinya, sedangkan batu yang lebih lebar dan berada di laut itu suaminya. Menurut cerita turun-temurun yang diyakini masyarakat setempat, suami istri ini datang jauh-jauh dari Pulau Seram, Maluku, sempat singgah di beberapa tempat lain, tapi akhirnya betah dan menetap di Pulau Rote.
Selain di pulau Rote, di Pulau Sumba juga terdapat Batu Kubur Megalitik. Batu kubur megalitik ini merupakan warisan leluhur yang harus dipelihara dan dipertahankan dan merupakan lambang kebangsawan orang Sumba. seiring perjalanan waktu tradisi budaya ini mulai bergeser dari kuburan batu potong asli ke model kuburan beton. Hal itu karena bahan pembuatan batu kubur mudah diperoleh, seperti semen, besi beton dan pasir. Secara ekonomis kuburan beton lebih ringan ketimbang menggunakan batu potong asli.

Pernahkah Anda mendengar mitos mengenai ‘pegang batu’ atau ‘mengantongi batu’ di saku celana demi menunda waktu buang air besar?
Mitos ini sudah ada sejak dulu kala, secara medis, mitos tersebut belum dapat dipecahkan. Mengingat sugesti merupakan proses psikologis melalui pemikiran, perasaan, atau perilaku seseorang, maka diduga sugesti yang kuat alhasil pengaruh budaya yang telah turun temurun pada beberapa generasi sehingga mitos tersebut terus berkembang.

Namun hati-hati dengan batu ginjal. Batu-batu urine dalam piala ginjal ini sebenarnya adalah potongan-potongan bahan padat yang akan terbentuk karena adanya zat yang secara normal larut dalam urine berubah menjadi konsentrasi tinggi.
Begitu juga batu yang dilemparkan oleh para pelajar dan para warga pada saat tawuran antar pelajar atau tawuran antar warga. Karena batu yang melayang datang dapat mengantar anda ke rumah sakit atau lubang kubur.
Untung kalau hanya sampai ke rumah sakit, andai kata harus sampai ke lubang kubur, maka akan tertancap Batu Nisan di atasnya yang biasa ditulis dengan nama, tempat tanggal lahir dan tempat tanggal meninggal, ada juga yang menyertakan foto. Batu nisan ini dapat berguna bagi ahli sejarah dan ahli silsilah di kemudian hari.

©johnberek99.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar