Foto : merahputih.com |
Kuda (Equus caballus) telah dikenal
manusia sejak 5.500 tahun yang lalu. Pada jaman itu, kuda digunakan sebatas
pengangkut barang, penarik pedati dan sebagai hewan tunggangan bagi para raja-raja
dan para bangsawan.
Pada jaman kerajaan-kerajaan tua di
Indonesia seperti Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, kediri, dan Majapahit, kuda
berperan sebagai hadiah dari raja kepada rakyat yang berjasa bagi raja, sebagai
barang niaga atau komoditi ekonomi yang sudah diperdagangkan/dibarterkan, dan
sebagai tenaga pembantu manusia dalam bidang transportasi.
Ketika Belanda menduduki Indonesia, perhatian
VOC pada usaha peternakan kuda lebih banyak. Hal ini penting bagi VOC untuk
kepentingan tentara Belanda, dimana kuda dimanfaatkan sebagai kendaraan
perang/kavaleri.
Pada saat itu juga Pemerintah Hindia
Belanda mendatangkan kuda-kuda dari Arab, Persia, dan Australia untuk disilangkan dengan kuda asli Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan
pusat pembibitan ternak kuda di beberapa daerah di Indonesia, salah satunya ada
di pulau Sumba. Hasil persilangan (grading up) antara kuda pony yang merupakan kuda asli dengan kuda arab
menghasilkan kuda Sandalwood yang dikenal hingga sekarang.
Saking populernya kuda Sandalwood, tak
heran jika aktor Hollywood kawakan, Brad Pitt, pernah membeli enam ekor kuda
Sandalwood untuk anak-anaknya. Meskipun mungkin yang dibeli Brad Pitt bukan
berasal dari Pulau Sumba, namun artinya jenis kuda ini cukup populer dan
diminati banyak orang. Para pembelinya memang kebanyakan dari kalangan menengah
ke atas yang ingin menjadikannya sebagai koleksi atau sebagai hadiah imut untuk
anak-anak mereka.
Pos Kupang, Minggu, 16 Juli 2017 memuat
pendapat dari praktisi budaya Sumba Pater Robert Ramone CSsR, bahwa kuda bagi
masyarakat Sumba berperan sebagai alat transportasi untuk mengantar
manusia/barang dari satu kampung ke kampung lain yang belum ada jalan yang
dilewati kendaraan umum, sebagai belis perempuan, serta untuk dipotong/sembelih
pada saat upacara pemakaman. Sedangkan menurut Bupati Sumba Barat Agustinus Niga Dapawole, kuda merupakan
lambang keperkasaan, tontonan pada saat pasola dan pacuan kuda. (Pos Kupang,
Minggu, 16 Juli 2017).
Ternyata peranan ternak kuda bukan saja
sebatas seperti yang disebut diatas, namun dapat diintegrasikan dengan pertanian, dimana hasil
ikutan dari limbah pertanian digunakan untuk meningkatkan produktivitas dari
ternak kuda. Selain integrasi dengan pertanian, ternak kuda juga dapat dintegrasikan
dengan pariwisata. Bukti integrasi kuda dan pariwisata seperti atraksi
ketangkasan melempar lembing kayu dari atas kuda antara dua kelompok yang
berlawanan (pasola) dan Parade 1001 kuda sandalwood yang dapat mendatangkan
devisa bagi kabupaten-kabupaten di pulau Sumba.
Kepada Kantor Berita Antara, Robert
Ramone CSsR mengatakan bahwa penurunan populasi kuda Sandalwood di Pulau Sumba
kian menurun dalam beberapa tahun terakhir. “Kalau merujuk pada masa kecil saya
pada tahun 70-an populasi kuda Sandalwood itu masih sangat banyak jika
dibandingkan dengan saat ini," katanya di Kupang, Jumat (14/7).
Menurut Bupati Sumba Tengah Umbu S.
Pateduk, Pemerintah Kabupaten Sumba Tengah mencatat hingga saat ini populasi
kuda di daerah itu mencapai 7.000 ribu ekor kuda. "Jumlah tersebut
gabungan dari kuda Sandalwood dan kuda pacu yang tinggi, dimana kuda Sandelwood jumlahnya kurang lebih
20 persen dari jumlah tersebut.
Masih menurut Robert Ramone CSsR, jika
dibandingkan dengan populasi kuda di Sumba Barat Daya, jumlah kuda di Sumba
Tengah masih terbilang lebih banyak, karena jumlahnya hanya mencapai 251 ekor.
Agustinus Niga Dapawole dalam Pos Kupang
Minggu, 16 Juli 2017, bahwa akhir-akhir ini terjadi penurunan populasi ternak
kuda yang disebabkan tingginya pemotongan pada saat upacara kematian, dan
dijual ke luar pulau Sumba.
Oleh sebab itu, hemat saya, untuk ke
depan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Kabupaten se pulau Sumba dalam hal
ini Dinas Pariwisata untuk memikirkan adanya kegiatan parade 1001 kuda sandalwood
dan festival tenun ikat dapat dipadukan dengan tari Kataga dan atau tari Woleka
secara kolosal sehingga targetnya tidak saja tercatat dalam MURI, namun tercatat
dalam Guinness Book of Record. Dengan masuknya even ini dalam Guinness Book of Record
diharapkan even ini akan mendunia dan mendorong banyak turis mancanegara untuk
datang menyaksikan, dengan demikian mendatangkan keuntungan bagi masyarakat
pulau Sumba.
Untuk mempromosikan even ini, Pemerintah
Kabupaten perlu membuat calendar of event
dan bekerjasama dengan Association Sof The Indonesian Tour and Travel Agencies
(ASITA) Nusa Tenggara Timur. Selain itu perlu dipikirkan olah raga ketangkasan
berkuda berintegrasi pariwisata.
Guna menghambat penurunan populasi
ternak kuda terutama kuda sandalwood, maka perlu dibuat peraturan yang
membatasi kuota pengeluaran mengingat nilai jual kuda ini yang sangat tinggi.
Sedangkan untuk mengembalikan kejayaan kuda sandalwood, Pemerintah Kabupaten se
pulau Sumba melalui Dinas Peternakan perlu mendirikan kembali pusat pembibitan
kuda sandalwood di pulau Sumba yang pernah didirikan oleh Pemerintah Hindia
Belanja tahun 1820.
©johnberek99@blogspot.com
PARADE
1001 KUDA SANDALWOOD : INTEGRASI TERNAK (KUDA)-PARIWISATA