Siapa yang tidak mengenal batu? Semua
orang, baik anak kecil maupun orang dewasa, laki-laki maupun perempuan, orang
kampung maupun orang kota pasti mengenal batu dan pernah menggunakannya. Batu
dapat digunakan untuk hal-hal yang memberi kebaikan dan keuntungan, namun batu
juga dapat digunakan untuk hal-hal yang merugikan. Selain itu batu juga dapat dijadikan
cerita mitos.
Pada jaman prasejarah, manusia telah
mengenal menciptakan alat dari batu yang digunakan sebagai senjata untuk
berburu, mempertahankan diri dari serangan musuh dan binatang buas, selain itu
batu digunakan sebagai alat pemotong untuk mengolah bahan makanan. Jaman ini
dikenal dengan jaman batu.
Seiring dengan perjalanan waktu manusia
mulai mengenal peradaban, mereka mulai mencari
tempat untuk tinggal menetap dan berkebun. Mereka mulai membuat tempat tinggal
yang pondasi dan dindingnya terbuat dari batu. Untuk pondasi mereka biasanya menggunakan
batu karang atau batu kali, sedangkan untuk dinding menggunakan batu karang, batu
kali, atau batu merah (batu bata).
Batu pun dapat dijadikan tungku masak. Menggunakan
tiga buah batu yang diletakkan menyerupai segi tiga sama sisi ini dikenal
dengan batu tungku. Batu tungku ini dahulu digunakan untuk memasak sebelum ada
kompor minyak tanah atau kompor gas seperti sekarang ini, karena bahan bakar
tungku adalah kayu kering.
Filosofi batu tungku ini yang mengilhami
lahirnya program gubernur NTT ke-7 Piet A. Tallo SH, yang dikenal dengan program
tiga batu tungku (ekonomi rakyat, pendidikan rakyat, dan kesehatan rakyat).
Suku-suku di pedalaman/pegunungan Papua seperti
suku Dani terdapat tradisi yang dikenal dengan nama pesta Bakar Batu, dimana
warga satu kampung memasak bersama-sama yang bertujuan untuk bersyukur, atau
untuk mengumpulkan prajurit untuk berperang.
Dalam tradisi bakar batu, dimana batu
ditumpuk di atas perapian dan dibakar sampai kayu bakar habis terbakar dan batu
menjadi panas (kadang sampai merah membara). Bersamaan dengan itu, warga yang
lain menggali lubang yang cukup dalam, kemudian batu panas tadi dimasukkan ke
dasar lubang yang sudah diberi alas daun pisang dan alang-alang. Di atas batu
panas itu ditumpuklah daun pisang, dan di atasnya diletakkan daging babi yang
sudah diiris-iris, di atas daging babi ditutup daun pisang, kemudian di atasnya
diletakkan batu panas lagi dan ditutup dengan daun. Kemudian di atas daun diletakkan
ubi jalar (batatas), singkong (hipere), dan sayur-sayuran lainnya dan ditutup
daun lagi. Selanjutnya di atas daun paling atas ditumpuk lagi batu panas dan
terakhir ditutup daun pisang dan alang-alang.
Di pulau Nias terdapat tradisi Melompat Batu/Fahombo
Batu yang biasa dilakukan oleh seorang pemuda Nias untuk
menunjukan bahwa pemuda yang bersangkutan sudah dianggap dewasa dan matang
secara fisik. Lebih jauh dari itu bila sang pemuda mampu melompati batu yang
disusun hingga mencapai ketinggian 2 m dengan ketebalan 40 cm dengan sempurna maka
itu artinya sang pemuda kelak akan menjadi pemuda pembela kampungnya samu’i
mbanua atau la’imba hor, jika ada konflik dengan warga desa lain.
Orang Maluku terutama di Pulau Tanibar, juga
menggunakan batu sebagai salah satu cerita rakyat mereka yakni Batu Badaong. Batu
yang konon dapat menelan manusia ini, hingga kini masih terus diceritakan
kepada anak-anak dan cucu-cucu sebagai cerita pengantar tidur.
NTT
juga tidak kalah dengan daerah lain, sebut
saja Batu Termanu di Pulau Rote yang merupakan pulau terluar bagian selatan
Indonesia. Batu ini memberi kesan anggun sekaligus perkasa, mistis sekaligus
eksotis yang kita rasakan kala melihatnya. Konon, kedua batu itu adalah
sepasang suami istri. Batu menjulang yang ada di darat itu istrinya, sedangkan
batu yang lebih lebar dan berada di laut itu suaminya. Menurut cerita
turun-temurun yang diyakini masyarakat setempat, suami istri ini datang
jauh-jauh dari Pulau Seram, Maluku, sempat singgah di beberapa tempat lain,
tapi akhirnya betah dan menetap di Pulau Rote.
Selain di pulau Rote, di Pulau Sumba juga terdapat Batu
Kubur Megalitik. Batu kubur megalitik ini merupakan warisan
leluhur yang harus dipelihara dan dipertahankan dan merupakan lambang
kebangsawan orang Sumba. seiring perjalanan waktu tradisi budaya
ini mulai bergeser dari kuburan batu potong asli ke model kuburan beton. Hal
itu karena bahan pembuatan batu kubur mudah diperoleh, seperti semen, besi
beton dan pasir. Secara ekonomis kuburan beton lebih ringan ketimbang
menggunakan batu potong asli.
Pernahkah Anda mendengar mitos
mengenai ‘pegang batu’ atau ‘mengantongi batu’ di saku celana demi menunda
waktu buang air besar?
Mitos ini sudah ada sejak dulu
kala, secara medis, mitos tersebut belum dapat dipecahkan.
Mengingat sugesti merupakan proses psikologis melalui pemikiran, perasaan, atau
perilaku seseorang, maka diduga sugesti yang kuat alhasil pengaruh budaya
yang telah turun temurun pada beberapa generasi sehingga mitos tersebut terus
berkembang.
Namun hati-hati dengan batu ginjal. Batu-batu
urine dalam piala ginjal ini
sebenarnya adalah potongan-potongan bahan padat yang akan terbentuk karena
adanya zat yang secara normal larut dalam urine berubah menjadi konsentrasi
tinggi.
Begitu juga batu yang dilemparkan oleh
para pelajar dan para warga pada saat tawuran antar pelajar atau tawuran antar
warga. Karena batu yang melayang datang dapat mengantar anda ke rumah sakit
atau lubang kubur.
Untung kalau hanya sampai ke rumah
sakit, andai kata harus sampai ke lubang kubur, maka akan tertancap Batu Nisan
di atasnya yang biasa ditulis dengan nama, tempat tanggal lahir dan tempat
tanggal meninggal, ada juga yang menyertakan foto. Batu nisan ini dapat berguna
bagi ahli sejarah dan ahli silsilah di kemudian hari.
©johnberek99.blogspot.com