Ina Nella (dok.pribadi) |
Setiap hari kecuali hari Minggu pagi,
Ina Nella selalu datang ke rumah kami untuk menawarkan/menjual sayur mayur,
buah-buahan dan kebutuhan lainnya yang berhubungan dengan urusan perut.
Bertelanjang kaki wanita tua asal Sabu itu memikul kapisak (ayaman keranjang
dari daun lontar ) yang berisi kebutuhan
perut, pada bahunya yang mulai lelah. Wajahnya terlihat keriput tanda termakan
usia, namun dari wajahnya yang keriput selalu keluar senyuman kecil yang manis
yang mengisyaratkan bahwa dahulu ketika masih muda wanita tua ini pasti cantik
dan ramah.
Dari satu rumah berpindah ke rumah yang
lain, dari satu desa berpindah ke desa yang lain menawarkan jualannya mengharapkan
keuntungan. Prinsipnya walaupun untung sedikit yang penting bukan rugi yang
didapat. Masih banyak Ina Nella-Ina Nella lain yang berprofesi sebagai
“Papalele”.
Arti
Papalele
Tahukah anda dengan istilah “Papalele”
Arti papalele tidak diketahui sejak
kapan istilah ini digunakan dan asal mula berasal dari daerah mana, karena
keterbatasan literatur dan penelitian di bidang sosial ekomomi tentang kegiatan
papalele.
Menurut Souisa : 1999 dalam Thesisnya
yang berjudul Papalele : Ajang Hidup Berteologi Perempuan Ambon. Secara
etimologi papalele terdiri dari dua kata yakni papa yang artinya membawa/memikul
dan lele yang berarti keliling. Jadi papalele berarti “berkeliling membawa atau
memikul”. Papalele juga dapat diartikan sebagai “kegiatan membeli barang,
sesudah itu dijual lagi untuk mendapat keuntungan (Mailoa : 2006. Kamus
Bahasa-Harian Dialek Orang Ambon, penerbit Kalibata Jakarta). Sedangkan menurut
Soegijono : 2009 dalam Thesis-nya yang berjudul Papalele : Budaya Ekonomi
Lokal. Berpendapat bahwa papalele tidak bedanya sebagai perantara (agen) antara
konsumen dan produsen. Dari ketiga pendapat-pendapat diatas dapat ditarik
kesimpulan bahwa papalele adalah penjual (agen) yang mendatangi konsumen dimana
kolektif dan solider menentukan harga.
Papalele
Ambon
Papalele merupakan suatu aktifitas
berjualan yang sudah ada sejak dulu pada masyarakat Ambon. Mereka menggunakan
pakaian khas mereka. Kegiatan mereka biasanya dimulai pada waktu subuh dari
tempat mereka ke kota Ambon dengan berjalan kaki tanpa alas kaki. Kegiatan
papalele ini dilakukan dengan cara menjajakan barang dagangan secara berkeliling
dari rumah ke rumah, atau dengan cara duduk di pinggir jalan. Mereka yang
menjual secara berkeliling meletakkan jualannya diatas dulang yang diletakkan
diatas kepala.
Papalele
Kupang
Hingga saat ini belum ada satupun kajian tentang kegiatan papalele di Nusa Tenggara Timur umumnya dan Kota Kupang khususnya. Namun saya mencoba untuk mencari-cari tulisan tentang kegiatan papalele di Kupang, dan akhirnya saya menemukan sebuah buku dalam bahasa Inggris yang ditulis oleh Koentjaraningrat yakni seorang Profesor juga Kepala Departemen Antropologi Universitas Indonesia. Saya mencoba menterjemahkannya sebisa mungkin dan kisahnya sebagai berikut :
Koentjaraningrat : 1967. Dalam bukunya “Village in Indonesia” yang ditulis tahun 1966 mengisahkan bahwa dahulu di Baun-Amarasi banyak petani berusaha kebun pertanian dan perkebunan seperti kacang panjang, pinang, pisang, kelapa, tomat, bawang putih, ubi kayu. Hasil pertanian dan perkebunan tersebut untuk dikonsumsi sendiri dan dijual. Petani biasanya menjual hasil pertanian dan perkebunan tersebut di pasar pada hari Senin, sehingga hari Minggu adalah hari yang tersibuk karena petani harus memetik dan mempersiapkannya untuk dijual esok harinya. Hasil pertanian dan perkebunan dibawa ke pasar oleh laki-laki dewasa, perempuan dewasa, anak-anak, dan kuda, yang kemudian dibeli oleh pedagang yang disebut papalele yang datang dari Kupang. Papalele datang dari Kupang pada siang hari dan kembali ke Kupang pada sore hari. Hasil yang tidak habis terjual, dijual kepada pegawai pemerintah, guru-guru, orang Cina yang menetap di Baun dan sebagian kecil orang di kampung. Laki-laki memotong ternak untuk dijual dagingnya. Ada beberapa desa disekitarnya yang khusus menghasilkan barang-barang seperti garam, kapur (untuk sirih), bakul (keranjang yang terbuat dari daun lontar), dan alat-alat pertukangan. Wanita-wanita menjual kerajinan seperti bakul (keranjang yang terbuat dari daun lontar), kain, dan tali. Mereka juga menjual makanan ringan untuk pembeli di pasar. Beberapa barang konsumsi di beli oleh papalele untuk dijual kembali di Kupang.
Papalele, biasanya terdiri dari orang Rote atau orang Sabu, memakai celana, kemeja, sepatu, dan topi. Usia mereka antara dua puluhan sampai tiga puluhan tahun, dan terutama laki-laki dan bujangan, tetapi apabila mereka sudah menikah mereka dibantu oleh istri-istri mereka.
Kini kegiatan papalele tidak saja
terdapat di Kupang dan sebatas orang Rote dan orang Sabu saja, namun sudah
merambah pada semua daerah dengan semua suku yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Jenis produk yang diperjualbelikan juga tidak terbatas pada hasil pertanian dan
perkebunan, namun sudah bermacam-macam produk. Usia Papalele juga tidak
terbatas pada usia 20 – 30-an tahun, manun ada dibawah umur 20 tahun dan diatas
30-an tahun, baik orang dewasa maupun anak-anak terutama anak-anak putus
sekolah usia Sekolah Dasar dan menengah. Tidak berbeda jauh dengan kegiatan
papalele di Ambon, kegiatan papalele di Kupang juga ada yang masih berjualan
berkeliling desa seperti Ina Nella menggunakan lalepak (kayu pikulan yang
terbuat dari bambu) dan kapisak/bakul (keranjang yang terbuat dari daun lontar),
namun ada yang menetap dengan membuat kios kecil yang dikenal dengan sebutan
pedagang kaki lima (kebanyakan berjualan diatas trotoar jalan; lebar trotoar ± 1,5 meter atau 5 kali; dimana 1 kaki = 0,3048 meter), selain itu ada yang menggunakan sepeda motor bahkan mobil
pick up.
Masuknya
Kegiatan Papalele di Kupang
Kalau kita membuka kembali sejarah
masuknya bangsa Belanda ke Indonesia khususnya ke Pulau Timor dan Maluku, jelas
tercatat bahwa pada tahun 1605, Belanda berhasil memaksa Portugis untuk
menyerahkan pertahanannya di Ambon kepada Steven van der Hagen dan di Tidore
kepada Cornelisz Sebastiansz. Demikian pula benteng Inggris di Kambelo, Pulau
Seram, dihancurkan oleh Belanda. Sejak saat itu Belanda berhasil menguasai
sebagian besar wilayah Maluku. Sedangkan baru pada tahun 1613 VOC yang
berkedudukan di Batavia (Jakarta) mulai berdagang dengan mengirim 3
kapal yag dipimpin oleh Apolonius Scotte menuju pulau Timor dan mendarat
di Teluk Kupang dan diterima oleh Raja Helong yang sekaligus menawarkan
sebidang tanah untuk keperluan markas VOC.
Dengan demikian dapat saya disimpulkan bahwa kegiatan
Papalele ini sudah ada lama di Ambon, baru kemudian di Kupang. Pendapat ini
senada dengan yang disampaikan oleh Souisa :1999 dan Pattikayhatu : 2005 bahwa
papalele dalam perkembangannya, sebenarnya diduga mulai ada dan berkembang di
Kota Ambon dan Maluku sejak jaman VOC yang menekankan sistim hongi. Sebuah
model politik ekonomi untuk melumpuhkan sistim ekonomi masyarakat di kota Ambon
pada khususnya. Hal ini terkait juga dengan model politik “devide et impera”
yang dibangun oleh Belanda pada saat itu.
Lebih lanjut dipertegas oleh Soegijono : 2009. Bahwa Papalele mungkin juga menjadi
sebutan atau dikenal di daerah lain khususnya di wilayah bagian timur. Nusa
Tenggara Timur (seperti Kupang, Sumba dll), juga menyebut papalele sebagai
orang-orang yang melakukan aktivitas layaknya para pedagang.
Masuknya kegiatan papalele ini di NTT, kemungkinan besar diperkenalkan oleh para guru sekolah rakyat dan sekaligus guru jemaat yang datang dari Ambon ± tahun 1716 (perjalanan sejarah injil di NTT oleh orang – orang maluku).
Papalele..... bisa juga jadi penjual, bisa juga jadi
pembeli
Papalele..... biar tipis untung sedikit, asal jangan
rugi modalnya
Papalele..... biar dapat rokok sebatang, biar dapat
nasi sepiring
Asal jangan pengangguran
Seperti lyrik lagu “kisah papalele” yang dicipta dan
dinyanyikan oleh Vester Esa*****)
©johnberek99.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar