Umat Israel mengenal hari pengampunan yang disebut Yom
Kippur (José Ramos-Regidor, Il Sacramento della Penitenza,
Riflessione Teologica, Biblico-Storico-Pastorale, Alla Luce del Vaticano II, Elle,
Di Ci, Torino-Leumann, Cetak-ulang ke-5, 1985, 109). Ritus pertobatannya
dalam bentuk berpuasa, menyobek pakaian, berpakaian karung kasar, menaburi
kepala dengan abu dan belutut atau duduk di tanah sambil menangis di hadapan
Yahwe. Sesudah itu seluruh umat duduk dalam diam sambil tetap berpuasa, meratap
dan bersedih dalam penyesalan yang mendalam atas dosa-dosa. Upacara liturgis
itu disertai dengan kata-kata yang intinya umat menyerahkan diri sepenuhnya
pada perlindungan Yahwe. Pada umumnya, terlebih sesudah masa pembuangan, waktu
itu ada pula pengakuan kolektif atau pertobatan masal oleh seluruh umat atau
diwakili oleh para pemimpinnya di mana mereka mengakui kesalahan dan mohon
pengampunan dari Yahwe.
Dalam liturgi tobat pada perayaan Yom Kippur tersebut
umat menyatakan diri lagi atau membarui niatnya untuk kembali kepada Yahwe.
Mereka bertobat dengan sepenuh hati, sebab mereka percaya bahwa Allah mengampuni
orang yang hatinya remuk. Pengampunan dosa dihayati atau dirasakan sebagai
penyembuhan, sebagai pembersihan atau pentahiran dan sebagai penganugerahan
hati yang baru.
Yom Kippur (Ibrani: יוֹם
כִּפּוּר atau יום הכיפורים, IPA: [ˈjom
kiˈpur]), disebut hari pertobatan dan silih yang dirayakan dengan cara
berpuasa dan berdoa. Yom dalam bahasa Ibrani artinya “hari” dan Kippur berasal
dari akar kata yang artinya “menutup” atau “menyembunyikan” dan arti kedua
adalah “menghapus” (dosa-dosa) sehingga disebut hari pengampunan. Ada pendapat
lain yang menghubungkan Kippur dengan kapporet yang
artinya “kursi kerahiman”
Dalam abad kelima SM, sesudah Yunus menyerukan agar orang
berbalik kepada Tuhan dan bertobat, kota Niniwe memaklumkan puasa dan
mengenakan kain kabung, dan raja menyelubungi diri dengan kain kabung lalu
duduk di atas abu.
Gereja Perdana mewariskan penggunaan abu untuk alasan
simbolik yang sama. Dalam bukunya “De Poenitentia”, Tertulianus
(sekitar 160-220) menulis bahwa pendosa yang bertobat haruslah “hidup tanpa
bersenang-senang dengan mengenakan kain kabung dan abu.” Eusebius (260-340)
menceritakan dalam bukunya “Sejarah Gereja” bagaimana seorang murtad
bernama Natalis datang kepada Paus Zephyrinus dengan mengenakan kain kabung dan
abu untuk memohon pengampunan. Dalam abad kedelapan, mereka yang menghadapi
ajal dibaringkan di tanah di atas kain kabung dan diperciki abu. Imam akan
memberkati orang yang menjelang ajal tersebut dengan air suci, sambil
mengatakan “Ingat engkau berasal dari debu dan akan kembali menjadi debu.”
Setiap tahun, mengawali
masa Prapaskah, umat Katolik mengikuti
Misa Rabu Abu. Masa Prapaskah tahun 2015 ini Rabu Abu jatuh tepat pada tanggal 18
Pebruari 2015.
Rabu Abu adalah hari pertama Masa
Prapaska, yang menandai bahwa kita memasuki masa tobat 40 hari sebelum Paska.
Angka “40″ selalu mempunyai makna rohani sebagai lamanya persiapan. Misalnya,
Musa berpuasa 40 hari lamanya sebelum menerima Sepuluh Perintah, Tuhan Yesus
sendiri juga berpuasa selama 40 hari 40 malam di padang gurun sebelum memulai
pewartaan-Nya.
Mengapa hari Rabu?
Gereja
Katolik menerapkan puasa ini selama 6 hari dalam seminggu (hari Minggu tidak
dihitung, karena hari Minggu dianggap sebagai peringatan Kebangkitan Yesus),
maka masa Puasa berlangsung selama 6 minggu ditambah 4 hari, sehingga genap 40
hari. Dengan demikian, hari pertama puasa jatuh pada hari Rabu. (Paskah terjadi
hari Minggu, dikurangi 36 hari (6 minggu), lalu dikurangi lagi 4 hari, dihitung
mundur, jatuh pada hari Rabu).
Jadi
penentuan awal masa Prapaska pada hari Rabu disebabkan karena penghitungan 40
hari sebelum hari Minggu Paska, tanpa menghitung hari Minggu.
Mengapa Rabu “Abu”?
Abu
adalah tanda pertobatan. Kitab Suci mengisahkan abu sebagai tanda pertobatan,
misalnya pada pertobatan Niniwe. Di atas semua itu, kita diingatkan bahwa kita
ini diciptakan dari debu tanah, dan suatu saat nanti kita akan mati dan kembali
menjadi debu. Olah karena itu, pada saat menerima abu di gereja, kita mendengar
ucapan dari Pastor/Romo/Suster, “Bertobatlah, dan percayalah kepada Injil”
atau, “Kamu adalah debu dan akan kembali menjadi debu” (you are dust, and
to dust you shall return).”
Bagi orang awam, terutama non-Katolik, bisa saja hal ini
mereka tidak paham, sehingga tidak heran ketika berpapasan dengan orang yang
baru pulang dari gereja lalu ada abu di dahinya ditegur disangka kotoran.
Padahal, debu yang menempel di dahi tersebut adalah abu yang sengaja dibubuhkan
oleh pastor/Romo/Suster di gereja dalam Misa Rabu Abu.
Abu yang digunakan dalam upacara hari Rabu Abu ini dibuat
dari hasil pembakaran daun-daun palma yang diberkati dan dipakai pada hari
Minggu Palma tahun lalu. Abu tersebut selanjutnya diperciki air
berkat dan didupai.
Daun-daun palma yang tadinya digunakan untuk mengelu-elukan Yesus yang memasuki
Yerusalem sebagai Raja yang penuh kemenangan telah ditransformir menjadi
abu yang merupakan tanda kedinaan, bahkan kematian. Dalam misteri paskah rasa
sedih diubah menjadi sukacita, kedinaan diangkat menjadi kemuliaan, dan
kematian dikalahkan oleh kehidupan.
Bagi kita pertobatan merupakan ‘paruhan pertama’ dari
misteri Paskah. Setiap kita harus bertanggung-jawab untuk menentukan apakah
kebutuhan kita yang paling besar. Masa Prapaskah ini adalah masa rahmat
bagi kita untuk melakukan pemeriksaan atas diri kita sendiri. Di sini kita
harus jujur mengenai dosa-dosa serta kelemahan-kelemahan kita, kemudian
mengambil keputusan tegas, dengan rahmat Allah, untuk mengatasi dosa-dosa dan
kelemahan-kelemahan termaksud. Tentang apa-apa saja yang harus kita lihat dalam
pertobatan, maka ritus tobat Misa dapat dijadikan panduan.
Pertama : adalah semangat kejujuran di hadapan
Allah: kita mengaku bahwa kita telah berdosa.
Kedua : adalah doa tobat ini menyatakan bahwa kita harus mempertimbangkan berbagai
dosa dan kesalahan lewat pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian kita.
Ketiga : adalah doa tobat ini juga seharusnya
meningkatkan semangat kita karena menyadari bahwa ada dukungan doa-doa dari
Santa Perawan Maria, para malaikat dan para kudus serta orang-orang Kristiani
lain yang adalah saudara dan saudari kita. Mengenai pemeriksaan batin itu
sendiri, kita dapat menggunakan banyak cara, antara lain dengan menggunakan
‘Sepuluh Perintah Allah” dan “Lima Perintah Gereja”.
(dari berbagai sumber)
©johnberek99.blogspot.com