Bulan Nopember 2017, saya dan Pak Andy mengantar tim
dari Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang ke Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS) untuk melakukan evaluasi akhir pelaksanaan Program Desa Mandiri Anggur
Merah, yang merupakan Program Prioritas Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Dalam perjalanan dari Kupang menuju
So’e yang merupakan ibu kota kabupaten TTS, saya memberi gambaran umum kepada
Tim Unibraw tentang sosial budaya dan adat istiadat masyarakat TTS pada
umumnya, dengan harapan mereka nantinya dapat menyesuaikan diri dengan
masyarakat setempat pada saat melakukan wawancara dengan aparat desa, pengurus
dan anggota kelompok penerima manfaat, sehingga ketika melakukan wawancara
mereka bisa mendapatkan data dan informasi yang akurat, obyektif, terkini, dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Setiap kali kami sampai di desa
yang menjadi locus, kami selalu disambut oleh kepala desa beserta pengurus dan
anggota kelompok bertempat di kantor desa. Kami disambut dengan Natoni dilanjutkan
dengan pengalungan selendang pada leher.
Lalu salah satu anggota Tim Unibraw
bertanya kepada saya : “pak John, memangnya setiap kali kami datang ke desa,
kami selalu diberi selendang?
Lalu saya menjawab : “ Ya”
Kemudian disambung oleh temannya
yang lain sesama tim : “wah, kalo begitu, ketika pulang ke Malang, kita bisa
bawa banyak selendangnya”.
Mendengar itu, saya hanya tertawa
kecil.
Lalu saya menjelaskan kepada mereka
bahwa, Natoni adalah sapaan adat sebagai ungkapan pesan yang dinyatakan dalam bentuk
syair-syair kiasan adat yang dituturkan secara lisan oleh seorang
penutur (atonis)
yang kemudian ditemani oleh sekelompok orang sebagai pendamping atau
pengikut (na
he’en) yang dimiliki oleh Suku Timor yang tersebar di
Kabupaten Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara dan sebagian Kabupaten Kupang.Natoni
merupakan ungkapan lisan yang berisi pantun dan petuah tradisional yang sejak
jaman leluhur diturunkan regeneratif, mencakup fenomena-fenomena yang terjadi,
histori, batas regional suatu tempat, kata-kata sambutan, ucapan selamat
datang, penyampaian maksud secara tersirat untuk melamar/meminang dan
sebagainya.
Sedangkan pengalungan selembar Tais
atau kain timor entah selendang, sarung, atau selimut, digunakan untuk
menyambut kedatangan tamu. Selembar Kain Timor dimaknai untuk mengikat tali
persahabatan, persaudaraan dan penghormatan kepada tamu yang baru saja tiba.
Setelah pengalungan kain biasanya diikuti dengan saling berjabat tangan dan cium
hidung, dan makan sirih pinang.
Tak terasa waktu seminggu melakukan pengambilan data dan informasi
telah usai, kini tiba saatnya mereka akan kembali ke Malang, saya mengantar
mereka dari So’e langsung ke bandara El Tari Kupang, ketika hendak masuk ke
dalam ruang check in nampak mereka
melilitkan selendang pada leher
masing-masing. Melihat itu saya bertanya, “mengapa kalian melilitkan
selendang pada leher” sontak saja seperti alunan koor yang
mendapat perintah dari sang dirigen, mereka menjawab secara bersamaan “KAIN
TIMOR PENGIKAT PERSAUDARAAN”
©johnberek99.blogspot.com