Dua orang yang saling
menaruh cinta kasih, saling kehilangan karena salah seorang menghilang. Mereka
telah berjanji tetap setia, takkan saling melupakan. Tetapi kesetiaan yang
demikian itu begitu sulit. Gigi-gigi waktu telah menggerogotinya. Pengkhianatan
dari dalam mengingkari kesetiaan itu. Dengan bermacam liku-liku kebimbangan
mulai merembes masuk.
Minggu, 17 Mei 2015 yang
bertepatan dengan pekan VII paskah, Gereja memperingati hari komunikasi sosial sedunia
ke - 49.
Melalui perayaan Ekaristi
Kudus memperingati Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-49 ini, Gereja mengajak
kita untuk terus “mengkomunikasi Keluarga: Tempat Istimewa Karunia Kasih”.
Menjadikan Keluarga sebagai tempat dimana setiap anggota belajar berkomunikasi,
mengalami kehangatan cinta, menumbuhkan belas kasihan, dan pengampun.
Sejalan dengan pesatnya
perkembangan teknologi dan informasi dewasa ini, keluarga sebagai tempat
istimewa bagi pertumbuhan iman dan cinta dihadapkan pada situasi dan kondisi
lingkungan yang diwarnai oleh pengaruh kuat sarana komunikasi modern. Dalam
situasi demikian, keluarga sering dan bahkan selalu menemukan dunia di mana
orang saling menaburkan perselisihan dan meracuni lingkungan manusiawi dengan
gosip lewat media komunikasi. Meski terus diingatkan untuk tetap menjalankan
tugas perutusannya yakni mengajarkan komunikasi sebagai sebuah berkat, tidak
jarang muncul sikap acuh tak acuh dari keluarga kristiani.
Komunikasi dalam keluarga dan/atau sesama anggota keluarga.
Dalam konteks
keluarga itulah kita pertama-tama belajar bagaimana berkomunikasi. Sebagai contoh ketika seorang bayi mulai belajar berbicara, yang
pertama kali disebutkan adalah bapa atau mama, setelah dia sudah bisa mulai lancar
berbicara, maka kita akan mengajarkan bagaimana membuat tanda salib ataupun
melatih berdoa bapa kami, salam maria, dan doa spontan lainnya yang mudah dan
pendek. Ini berarti bahwa komunikasi pada awalnya terjadi dalam keluarga, dan
keluargalah yang menjadi sekolah pertama bagi sang anak.
Apabila dalam keluarga kita
berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan kata-kata “kotor” atau
kata-kata yang tidak sepantasnya, maka anak anak merekamnya dan tidak heran
aapabila kata-kata tersebut dipakainya dalam pergaulannya sehari-hari. Dengan demikian
hal ini akan mencerminkan situasi komunikasi dalam satu komunitas yang disebut
keluarga.
Di dalam keluarga itulah
kita belajar bagaimana masing-masing bisa saling berbagi dan mendukung, belajar
mampu mengartikan secara tepat ekspresi wajah orang dan membaca isi hatinya
sekalipun diam tak berkata-kata; kita tertawa dan menangis bersama
pribadi-pribadi yang tidak saling memilih tetapi begitu berarti satu sama lain.
Realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna komunikasi
sebagai kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan mempertautkan.
Keluarga dan Teknologi Informatika dan Komunikasi.
Ketua Komisi Komunikasi Sosial
Konferensi Waligereja Indonesia Mgr. Petrus Turang yang juga Uskup Agung Kupang
dalam homili pada Misa Penutupan Pekan Komunikasi Sosial Nasional – Konferensi
Waligereja Indonesia (PKSN-KWI) di Gereja Katedral Sorong, Papua, Minggu
(17/5/2015) menyatakan dengan kemajuan teknologi informatika dan komunikasi
ini, kita sedang berada dalam perubahan yang dasyat. “Global Village” tumbuh
dimana-dimana. Di desa atau kampung, biasanya orang saling kenal dan saling
menyapa secara “face to face”, tetapi dalam “global village” nyatanya orang
semakin terasing di tengah kemajuan teknologi dengan segala gadgetnya. Orang jarang
melakukan “face to face” lagi, kebanyakan mereka menggunakan call, sms ataupun facebook
untuk memberi tahu keadaan, undangan ataupun suatu peristiwa.
Kehadiran
dunia digital dalam keluarga semakin menjadi dengan kehadiran jari yang saling
menyapa secara pribadi. Jari manusia dalam keluarga semakin dikuasai oleh cara
kerja baru, yaitu penyapaan dalam bentuk maya yang bermakna. Memang, maknanya
memperluas jejaring komunikasi, biarpun kehadiran pribadi secara fisik
berkurang atau bahkan hilang.
Anggota
keluarga dapat menjauh dari makan bersama akibat ketagihan dalam penggunaan
alat komunikasi modern. Jadi, di samping kemajuan dalam membangun peradaban
baru, keluarga-keluarga juga terperangkap dalam kebutuhan-kebutuhan yang tidak
nyata melalui keinginan-keinginan yang dibentuk di luar kemauan kita akibat
iklan atau fitur-fitur lain dalam teknologi komunikasi.
Pergerakan
“on line” dalam keluarga nampaknya semakin menjadikan sesama anggota keluarga
“orang lain”, sehingga komunikasi manusiawi memudar dan hubungan pribadi
menjadi samar-samar.
Di
tengah perubahan demikian, keluarga memang mengalami kegembiraan berjejaring,
namun kemesraan keluarga harus berhadapan dengan senjata teknologi yang sangat
ampuh menyodorkan gaya khusus yang berbeda.
Dampak
yang memukau dari teknologi komunikasi dapat menyebabkan keretakan dalam
keluarga, persaingan kepemilikan gadget dalam keluarga, bahkan
kecurigaan serta ketidakpercayaan satu sama lain.
Dapat muncul gossip dalam keluarga atau
antar keluarga akibat pemakaian alat komunikasi yang tidak bertanggungjawab.
“Pemberdayaan teknologi komunikasi tidak dengan sendirinya memberdayakan
hubungan pribadi dalam keluarga: kebiasaan adat istiadat yang baik dan yang
merukunkan dapat menjadi luntur akibat pengaruh konsumeristik media sosial
digital
“Kita dapat mengirim teks-teks Kitab Suci
melalui gadget tetapi apakah perilaku kita sesuai dengan teks Kitab Suci yang kita
kirimkan? Kita dapat mengirimkan doa secara virtual, tetapi apakah kita adalah
manusia pendoa? Apakah kita masih membaca Kitab Suci dan berdoa bersama dalam
keluarga atau cukup melalui sms atau BB?,”tanya Monsinyur Turang.
Kita berharap,
kata Monsinyur, keluarga kita tetap “selfie” dalam anugerah cintakasih dan
bukan saja memamerkan “selfie keluarga” demi kehebatan dan ketenaran dalam
istagram atau facebook! Pertanyaannya, apakah dengan semua yang baik ini,
keluarga kita semakin menjadi Katolik dan Kristiani? Suka damai, rukun, peduli
sesama dan memerhatikan mereka yang lemah serta saling membantu untuk menjadi
murid-murid Kristus yang
“Karena itu, jangan takut dan beranilah
menjadi keluarga Kristiani yang baik dan benar. Salah satu tanda dari anugerah cintakasih
adalah rela berkorban seperti Kristus yang datang untuk melayani sesama menurut
kehendak Bapa-Nya. Ingatlah bahwa komunikasi dalam keluarga sangat ditentukan
oleh tiga hal, yaitu permisi (may I), terima kasih (thank you) dan minta maaf
(excuse me) !”tegas Monsinyur Turang.
Permasalahan
sosial akibat kemajuan Teknologi informatika dan komunikasi.
Kejadian pada suatu rumah makan, duduk
beberapa orang untuk pada meja makan sambil memesan makanan, sementara menunggu
pesanan, nampak masing-masing sibuk dengan gadgetnya
sendiri, ada yang serius mengutak atik keypadmaupun layar, ada yang
senyum-senyum, ada yang tertawa-tawa. nampak tidak terlihat adanya komunikasi
yang hangat diantara mereka. Ketika pesanan mereka datang, nampak masing-masing
menikmati pesanannya sambil jari-jari menari-nari diatas keypad maupun layar.
Ketika baru bangun tidur, hal pertama
yang dilakukan biasanya adalah menggapai telepon genggam untuk memeriksa apakah
ada notifikasi yang masuk atau tidak. Sampai ketika ingin menutup mata tak lupa
untuk memberitahukan kepada khalayak ramai seantero media sosial bahwa dirinya
akan tidur, lalu memasang bel penanda bangun diaktifkan dan kemudian gadgetnya
diletakkan di tempat terdekat dan mudah terjangkau oleh tangan ketika
terbangun.
Kedaaan seperti mengakibatkan adanya
pergeseran etika dan membuat orang disekitar seolah-olah tembok yang kurang
memiliki arti ketimbang gadget.
Lebih ironis lagi gadget digunakan
sebagai sarana untuk “menjual diri” hal ini terlihat dari maraknya prostitusi
on line akhir-akhir ini.
Kita tidak dapat menghindar dari
kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi yang berkembang pesat saat ini. Mau
tidak mau, suka tidak suka kita harus menghadapinya dengan segala
konsekuensinya. Untuk itu pergunakan alat-alat komunikasi dan informatika
secara bijaksana dan sesuai dengan peruntukannya.
Bagaimana kita tetap mempertahankan “face
to face” tanpa menyesampingkan “Global Village” sehingga tidak muncul istilah “mendekatkan
yang jauh dan menjauhkan yang dekat” tapi “mendekatkan yang jauh dan memperat
yang dekat”
Solusi
Mencoba untuk mengurangi ketergantungan
tersebut, mulai dengan tidak terlalu aktif di beberapa media sosial, mengurangi
obrolan-obrolan tak penting melalu berbagai aplikasi chatting,
Mencoba menyibukkan diri dengan kegiatan
yang tak berhubungan dengan gadget seperti membaca buku, menulis artikel sederhana
yang kemudian dimuat pada blog pribadi, atau melakukan perjalanan menikmati panorama
alam.
Salam dan doa
dari seorang sahabat
untuk para sahabatnya.
©johnberek99.blogspot.com