PENGARUH PEMBATASAN PEMBERIAN RANSUM TERHADAP
KECEPATAN PERTUMBUHAN RELATIF BROILER
Meningkatnya pendapatan
dan kesadaran masyarakat akan gizi menyebabkan permintaan terhadap komoditi
yang berasal dari ternak juga meningkat. Selain telur dan susu, daging
merupakan sumber protein hewani yang cukup besar peranannya dalam memenuhi
kebutuhan protein hewani. Oleh sebab itu perlu adanya pengembangan peternakan
ayam pedaging (broiler). Usaha ini ditempuh berdasarkan pertimbangan bahwa
dalam waktu yang relatif singkat (6-8 minggu) broiler sudah dapat dipasarkan,
disamping adanya industri makanan ternak sebagai faktor penunjang. Akan tetapi
pada umumnya peternak belum memperhatikan cara pemberian ransum tersebut.
Umumnya sistim
pemberian makanan oleh peternak belum didasarkan pada standar kebutuhan
makanan, karena peternak lebih mengutamakan segi kemudahan dalam pemberian
makanan, dimana peternak cenderung memberikan dalam jumlah yang tidak terbatas,
sedangkan makanan merupakan biaya produksi terbesar (60 – 70%) dalam usaha
peternakan broiler yang perlu ditekan. Salah satu sifat dari broiler yaitu
ingin mengkonsumsi makanan secara terus-menerus, tetapi laju konsumsi makanan
tersebut tidak selaras dengan pertambahan berat badan. Untuk itu perlu dicari
terobosan untuk menekan biaya produksi yang dihasilkan. Salah satu terobosan
yang mungkin dapat mengatasi masalah tersebut adalah dengan pembatasan
pemberian ransum yang didasarkan pada kebutuhan optimal dari ternak tersebut
yang direkomendasikan oleh Murtidjo (1989). Penggunaan rekomendasi tersebut
disebabkan karena disamping merupakan rekomendasi terbaru dibanding
rekomendasi-rekomendasi sebelumnya, juga ingin mencoba apakah rekomendasi
Murtidjo (1987) sesuai atau tidak dengan di Nusa Tenggara Timur.
Suatu penelitian telah dilaksanakan oleh Berek
(1991) di kelurahan Oetete, Kota Administratif Kupang selama 42 hari yaitu
sejak 17 Agustus sampai dengan 28 September 1991 untuk melihat pengaruh
pembatasan pemberian ransum terhadap kecepatan pertumbuhan relatif broiler,
dengan menggunakan metode eksperimen terhadap 60 ekor dengan 2 perlakuan dimana
setiap perlakuan terdiri dari 15 ulangan dan masing-masing ulangan terdiri dari
2 ekor. perlakuan yang dicobakan adalah pembatasan ransum dalam arti pemberian
ransum menurut kebutuhan sesuai rekomendasi dari Murtidjo (1987) dan pemberian
ransum ad libitum.
Pedoman Kebutuhan
Makanan/ekor/hari menurut rekomendasi Murtidjo (1987)
Umur (Minggu)
|
Kebutuhan (g)
|
1
|
13
|
2
|
33
|
3
|
48
|
4
|
65
|
5
|
88
|
6
|
117
|
7
|
135
|
8
|
148
|
Variable yang diukur
adalah : 1) Konsumsi Ransum, dihitung berdasarkan selisih antara jumlah yang
diberikan dengan jumlah yang tersisa dalam 24 jam; 2) Konsumsi zat makananyang
terdiri dari protein dan energi, dihitung dengan mengalikan jumlah ransum yang
dikonsumsi dengan prosentase kandungan za-zat makanan dari ransum tersebut; 3)
Kecepatan Pertumbuhan Relatif (KPR), dihitung berdasarkan rumus menurut
petunjuk Banister dan Scot (1974) yaitu :
W2 – W1
RGR = ------------------------
½ (W2 + W1) t
Dimana
: RGR = Relative Growth Rate (Kecepatan Pertumbuhan Relatif)
W1 = Berat Badan Awal
W2 = Berat Badan Akhir
t = Lamanya Penelitian (minggu)
4) Konversi Zat-zat Makanan dihitung
berdasarkan jumlah konsumsi zat-zat makanan per minggu dibagi dengan pertambahan
berat badan per minggu.
Data
yang terkumpul dianalisis dengan uji-t (Sostrosupadi, 1977) dengan rumus :
│Ā – B │
t hitung = ------------------
s( Ā – B )
dimana : s( Ā – B ) = sd
=standar error
Ā = Kelompok I
B = Kelompok II
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi ransum, konsumsi protein dan
energi, kecepatan pertumbuhan relatif, konversi protein dan energi per ekor per hari pada fase starter dan
finisher sebagai berikut :
Variabel
|
Fase Starter
|
Fase Finisher
|
||
Pembatasan Makanan
|
ad libitum
|
Pembatasan Makanan
|
ad libitum
|
|
Konsumsi
Ransum (gr)
|
48,44
|
87,46
|
133,33
|
138,08
|
Konsumsi
Protein (gr)
|
10,42
|
18,79
|
21,53
|
26,24
|
Konsumsi
Energi (kkal)
|
138,08
|
250,75
|
351,33
|
427,97
|
Kec.
Pertumbuhan Relatif (%)
|
44,08
|
49,60
|
28,21
|
23,53
|
Konversi
Protein
|
0,35
|
0,44
|
0,39
|
0,46
|
Konversi
Energi
|
5,72
|
1,06
|
6,43
|
7,60
|
Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa jumlah konsumsi ransum broiler yang mendapat ransum
ad libitum sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibanding dengan yang
mendapat ransum terbatas pada kedua fase tersebut. Adanya perbedaan ini
disebabkan karena kelompok broiler yang mendapat perlakuan ad libitum
mempunyai kesempatan lebih banyak untuk mengkonsumsi ransum, sehingga broiler
walaupun mempunyai keterbatasan dalam menampung ransum, namun karena tersedia
secara terus-menerus maka secara naluriah broiler akan mengkonsumsi lebih
banyak.
Berdasarkan analisis
statistik menunjukkan bahwa jumlah konsumsi protein dan energi dari broiler
yang mendapat ransum ad libitum sangat nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibanding dengan yang mendapat ransum terbatas pada kedua fase tersebut. Adanya
perbedaan ini disebabkan karena jumlah ransum yang dikonsumsi oleh broiler yang
mendapat ransum ad libitum lebih banyak dibanding broiler yang mendapat
ransum terbatas. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Soeharsono (1976) bahwa
jumlah konsumsi zat-zat makanan dipengaruhi oleh daya konsumsi ransum.
Hasil analisis
statistik menunjukkan bahwa pada fase starter kecepatan pertumbuhan relatif
dari broiler yang mendapat ransum ad libitum sangat nyata lebih tinggi
(p<0,01) dibanding broiler yang mendapat ransum terbatas. Namun pada fase
finisher kecepatan pertumbuhan relatif dari broiler yang mendapat pembatasan
ransum sangat nyata lebih tinggi (P<0,01) dibanding dengan broiler yang
mendapat ransum ad libitum. Adanya perbedaan pada fase starter ini
disebabkan karena biasanya pada unggas sebelum pengamatan dilakukan tidak
didahului dengan masa preliminary, sehingga pada fase tersebut broiler belum
dapat atau lambat mengadaptasi sifat naluriahnya dengan perlakuan yang
diberikan. Soeharsono (1976) menyatakan bahwa proses adaptasi ayam pedaging
tidaklah mudah mengingat masa hidup dan produksi yang singkat. Adanya perbedaan
pada fase finisher selain disebabkan karena penjatahan ransum yang telah sesuai
untuk memacu pertumbuhan, juga karena laju gerak bahan makanan dalam saluran
pencernaan memungkinkan enzim-enzim pencernaan mempunyai kesempatan yang lebih
lama untuk mencerna bahan makanan. Akibatnya kecepatan pertumbuhan relatif pada
fase finisher untuk broiler yang mendapat ransum terbatas lebih cepat
dibandingkan dengan broiler yang mendapat ransum ad libitum.
Berdasarkan analisis
statistik menunjukkan bahwa konversi protein dan energi dari broiler yang
mendapat ransum ad libitum sangat nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibanding dengan yang mendapat ransum terbatas pada kedua fase tersebut. Ini
berarti jumlah protein dan energi yang diberi ransum ad libitum untuk
menghasilkan satu satuan daging lebih banyak dari pada yang diberi terbatas.
Dengan kata lain broiler yang diberikan ransum terbatas lebih efisien dalam
mengubah protein dan energi menjadi daging. Selain itu dari penelitian ini
diperoleh hasil, bahwa broiler yang diberi ransum terbatas dapat menghemat
sebanyak 19,40% dari ransum ad libitum. Namun pada penelitian Theedens
(1987) dengan pembatasan waktu makan sampai dengan 8 jam dapat mengurangi
konsumsi sebanyak 15,4% dari ad libitum. Jika kedua hasil penelitian ini
dibandingkan, maka pemberian ransum menurut rekomendasi Murtidjo (1987) masih
lebih efisien.
Berdasarkan hasil yang
diperoleh dari penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa pemberian ransum
menurut rekomendasi Murtidjo (1987) kurang sesuai pada fase starter, sehingga
menghasilkan kecepatan pertumbuhan relatif yang lebih lambat dibanding
pemberian ad libitum. Namun pada fase finisher menghasilkan kecepatan
pertumbuhan relatif yang lebih cepat dibanding pemberian ad libitum.
Selain itu pemberian ransum menurut rekomendasi Murtidjo (1987) menghasilkan
nilai konversi zat-zat makanan yang lebih baik dari pemberian ad libitum.
Dengan kata lain broiler yang diberi ransum terbatas lebih efisien dalam mengubah
protein dan energi menjadi daging. Lebih lanjut disimpulkan bahwa pemberian
ransum dengan sistim ini dapat menghemat konsumsi ransum sebanyak 19,04% dari
pemberian ad libitum.
Untuk menghemat
konsumsi ransum pada pemeliharaan broiler di daerah kota kupang tanpa
menurunkan produksi, maka disarankan pemberian ransum dapat dihemat sampai
19,40% dari pemberian ad libitum.
Daftar
Pustaka
Berek,
Y., 1991. Pengaruh Pembatasan Pemberian Ransum Terhadap Kecepatan Pertumbuhan
Relatif Broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana,
Kupang.
Murtidjo,
B. A., 1987. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Kanisius, Yogyakarta.
Sastrosupady,
A. 1977. Statistik Percobaan. Jilid I. Departemen Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, Malang.
Soeharsono,
1976. Respon Broiler Terhadap Berbagai Kondisi Lingkungan. Disertasi.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Theedens,
J. F., 1987. Pengaruh Pembatasan Waktu Makan Terhadap Prosentase Karkas
Broiler. Thesis. Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana, Kupang.